Angin yang bertiup kencang dengan kondisi lurus sejajar cenderung memudahkan pengendalian pesawat saat proses pendaratan. Namun lain halnya dengan angin yang berhembus kencang dan datang dari arah samping, inilah crosswind yang masih menjadi momok dalam dunia aviasi.
Baca juga: Melawan Lupa, Ini Dia 4 Pesawat Terkecil di Seantero Jagad
Crosswind merupakan hal yang paling dikhawatirkan setiap penerbang, baik saat akan lepas landas maupun mendarat. Sebab, arah datangnya angin yang tegak lurus sehigga menyebabkan objek bisa berpindah kearah angin tersebut bergerak. Angin yang bergerak lurus dari arah samping dan bisa mempengaruhi aerodinamika berbagai bentuk transportasi. Biasanya untuk menentukan komponen crosswind dalam sebuh penerbangan, para pilot sering merujuk pada nomograph dimana kecepatan sudut angin pilot dan komponen crosswind dibaca dari garis referensi.
Arah perjalanannya pun relatif terhadap angin bisa dari kanan atau kiri, atas atau bawah bahkan miring. Dalam penerbangan crosswind sendiri bisa membuat pendaratan dan lepas landas lebih sulit dibandingkan jika angin bertiup lurus ke arah landasan pacu. Permasalahan terbesarnya, jika crosswind cukup kuat, bisa merusak undercarriage pesawat saat mendarat.
Beberapa literatur menyebut bahwa crosswind adalah hal yang biasa terjadi dalam dunia penerbangan. Di Eropa atau Amerika angin yang berhembus disekitar bandara bukanlah angin sepoi-sepoi, melainkan angin yang berkecepatan tinggi dan berbahaya bagi pesawat. Angin bukan hanya berbahaya bagi pesawat kecil, sekelas pesawat jet berbadan lebar pun juga dapat terkena dampak crosswind.
Kelihaian pilot dalam mengendalikan pesawat menjadi taruhan, dalam tempo yang singkat, pilot harus mampu memtuskan, apakah terus melakukan upaya pendaratan, ataukan justru tancap ‘gas’ kembali menerbangkan pesawat untuk mencoba melakukan pendaratan ulang.
Meski dengungnya tak sepopuler di udara, fenomena crosswind juga terjadi di darat dan dialami oleh kendaraan roda empat dan roda dua. Contoh yang paling sederhana adalah crosswind yang kerap terjadi di tol Cipularang, dimana lokasinya banyak menyeberangi lembah dan membuat jalan tol ini cenderung lebih berangin. Terkadang angin di lokasi ini cukup kencang dan membuat mobil berpindah jalur karena stir oleng.
Banyak yang mengatakan bahwa Km 70 di tol Cipularang sering terjadi kecelakaan karena hal mistis, padahal bukan karena itu, ini disebabkan posisi jalan dengan permukaan tanah cukup tinggi. Selain itu ditambah pengaruh turbulensi dari angin bawah tol menuju ke atas mirip dengan pesawat terbang. Tak hanya itu, sebenarnya saat Anda melewati Cipularang pada Km tersebut Anda tidak akan merasa sedang berjalan di atas jembatan setinggi 50-60 meter dari tanah. Sehingga ada kewajaran saat berada di ketinggian tersebut mobil yang dikendari diterjang angin.
Baca juga: Hadapi Petir, Es dan Angin Kencang, Pesawat Sejatinya Telah Dirancang Untuk Kondisi Ekstrim
Sebagai catatan, ada beberapa kecelakaan yang terjadi pada penerbangan akibat crosswind, yakni Adam Air DHI 574 pada 1 Januari 2007 yang berangkat dari Bandara Juanda, Surabaya. Sesuai jadwal, pesawat seharusnya mendarat di di Bandara Hasanuddin, Makassar, pukul 14.25 WIB, sebelum melanjutkan ke penerbangan ke Manado. Pada pukul 14.06 WIB, pilot Adam Air menghubungi ATC Bandara Hasanuddin, Makassar. Ia mengabarkan pesawat terkena crosswind. Namun, pada pukul 14.07 WIB, Adam Air hilang dari pantauan radar sekitar 157,4 kilometer arah barat laut Makassar. Waktu itu pesawat berada dalam ketinggian 10,668 meter. Sampai batas akhir bahan bakar pesawat Adam Air pukul 17.00, keberadaan pesawat belum juga diketahui.
Keberadaan pesawat Adam Air baru menemukan titik terang setelah seminggu lebih dilakukan pencarian. Nelayan di pesisir Desa Bojo, Kabupaten Barru, pada 9 Januari 2007 menemukan puing-puin pesawat. Kotak hitam Adam Air baru ditemukan 28 Agustus 2007 di kedalaman 2000 meter di perairan Majene, Sulawesi Barat.
Dalam catatan KabarPenunpang.com, Fokker F-27 M400 Troopship TNI AU A-2703 yang jatuh menghantam hanggar PT Dirgantara Indonesia di Bandung pada 6 April 2009, juga diakibatkan oleh crosswind yang diduga datang dari arah utara, sementara pesawat datang dari arah timur. Akibatnya, pesawat terbawa ke arah kiri dan melebar dari jalur pendaratan dan kemudian menghantam hanggar Air Craft Service (AFC) milik PT DI di Bandara Husein Sastranegara.