Langkah Pemerintah Malaysia dalam mewajibkan perusahaan layanan transportasi berbasis aplikasi (online) seperti Uber dan Grab untuk menerapkan tombol SOS di aplikasi mereka dinilai tidak banyak membantu apabila dalam kondisi darurat, seperti korban mengalami kekerasan hingga kejahatan. Shamsubahrin Ismail selaku pendiri dari Big Blue Taxi Services mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak menjamin keselamatan penumpang dari beragam tindak kriminal, karena biasanya kejadian seperti itu berlangsung dengan sangat cepat.
Baca Juga: Banyak Kasus Pelecehan, Inikah Momen Taksi Online Perketat Penerimaan Pengemudi?
“Langkah seperti ini hanya akan menjadi pencegah bagi para pengemudi untuk melakukan tindak kejahatan. Karena pada kenyataannya, para korban tidak akan terpikir untuk memencet tombol SOS ketika dalam keadaan darurat,” tuturnya sebagaimana KabarPenumpang.com wartakan dari freemalaysiatoday.com (18/6/2017).
Shamsubahrin mengatakan pelaku biasanya akan bertindak cepat dan dengan paksa, meninggalkan penumpang sebelum mereka memiliki kesempatan untuk mencari pertolongan. Asumsinya semakin dipertegas dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa korban hanya memiliki kemungkinan untuk memenekan tombol SOS di bawah 30%, tepat pada waktunya. Lebih lanjut, Shamsubahrin mengatakan tombol SOS hanya bisa digunakan oleh penumpang yang merasa keselamatannya mulai terancam, entah karena pengemudi menempuh jalan pintas yang mencurigakan atau mengancam penumpang selama berkendara.
Pria berambut plontos ini juga menghimbau kepada semua perusahaan layanan jasa transportasi berbasis aplikasi agar perusahaan tersebut lebih ketat dalam melakukan seleksi masuk bagi para pengemudinya. “Pastikan mereka tidak memiliki catatan kriminal atau masalah kesehatan,” tegasnya. Tentunya, dengan pemberlakuan serangkaian tes tersebut, akan melibatkan lebih banyak pihak, seperti Polisi, Departemen Transportasi, Badan Anti-Narkoba Nasional dan Dewan Kota.
Baca Juga: Uber Punya Fitur Peringkat Untuk Pengguna dari Pengemudi
“Kalau begitu sebaiknya SPAD (Land Public Transport Commission) memberikan persetujuan agar mereka bisa mulai beroperasi secepatnya,” tutur Shamsubahrin. Anjuran yang dilontarkan Shamsubahrain bukan tanpa alasan, mengingat dalam waktu satu bulan ke belakang telah terjadi serangkaian kejadian yang diduga sebagai tindak kriminal oleh pengemudi Uber dan Grab kepada para penumpangnya.
Ambil contoh pada tanggal 11 Juni 2017 silam, dimana seorang wanita berusia 29 tahun diduga menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang sopir Grab sekitar pukul 04.00 dini hari waktu setempat di Bandar Putra Permai, Seri Kembangan. Mundur beberapa hari, tepatnya pada 6 Juni 2017 seorang wanita paruh baya asal Vietnam mengaku dipaksa untuk menyentuh organ vital dari pengemudi Uber setelah ia menunjukkannya sepanjang perjalanan dari Penang, serta masih banyak lagi serangkaian kejadian yang mencoreng nama kedua jasa layanan transportasi berbasis aplikasi tersebut.