Sebagai moda darat berbasis massa yang memiliki jalur sendiri, maka tidak heran jika kereta api memiliki estimasi waktu perjalanan yang teorinya mampu tepat waktu, kecuali ada masalah sepanjang perjalanan. Jalur mandiri yang dapat dipastikan tidak akan bersenggolan dengan moda lain membuat kereta api menjadi pilihan banyak orang ketika mereka tengah dikejar oleh waktu, ditambah lagi dengan ongkosnya yang bisa dibilang ekonomis. Tiap kali kereta hendak memotong jalur moda lain, maka peranan orang ini menjadi vital karena tugasnya adalah mengatur lalu lintas di perlintasan kereta api.
Baca Juga: Jalur Perlintasan KA, Masih Jadi Momok Menakutkan
Penjaga Jalan Lintasan (PJL) dituntut untuk selalu waspada dan cekatan untuk menurunkan palang pintu dan menyalakan buzzer setiap kali kereta hendak lewat. Untuk jalur-jalur ramai, biasanya digunakan sistem shift untuk menjaga perlintasan tersebut. Namun untuk perlintasan kecil seperti di daerah pelosok, maka palang perlintasan tersebut ditutup jika petugas sudah selesai menjalankan tugasnya dan kembali dibuka pada keesokan harinya. Para PJL ini dipekerjakan oleh Dinas Perhubungan sesuai dengan region masing-masing. Dan untuk PJL di perlintasan kecil, biasanya mereka mengais rupiah dari belas kasih orang-orang yang melintasi jalur tersebut.
Walaupun kelihatannya tugas seorang PJL tidaklah rumit, namun sekali mereka teledor, maka tidak menutup kemungkinan akan ada nyawa yang melayang dan bisa jadi mereka dipaksa mendekap dibalik jeruji besi. Sebagaimana KabarPenumpang.com wartakan dari Kompas.com (14/3/2017), seorang PJL dari perlintasan Jalan Pramuka Raya, Jakarta Timur, Ahmad Fauzi mengatakan seorang PJL harus bisa memprediksi dari arah mana kereta akan datang. Hal tersebut kemudian menjadi penting mengingat kemungkinan mesin penginformasi datangnya kereta tidak berjalan dengan semestinya. Jika mesin penginformasi tersebut rusak, para PJL mesti berinisiatif untuk menyetop kendaraan bermotor agar tidak melintas terlebih dahulu.
Baca Juga: Hadapi Perlintasan KA, Jangan Panik Tetap Waspada!
Dalam menjalani tugasnya, Fauzi pun turut menjelaskan apa-apa saja yang mesti dilakukan ketika kereta hendak melintas. Para petugas PJL akan menerima laporan dari pos sebelumnya yang menginformasikan bahwa ada kereta yang baru saja melewati pos tersebut. Sekiranya jarak kereta dengan perlintasan sudah menyentuh angka 500m hingga 1 km, maka buzzer akan otomatis menyala dan saatnya para PJL untuk menurunkan palang pintu perlintasan.
“Di relnya ada sambungan. Kalau roda kereta lewat, nanti bunyi. Dari sana (pos) sudah lewat, telepon dulu ke mari. Yang dikabarin nama kereta yang lewat,” tutur Fauzi. Setelah kereta melintas, maka para PJL wajib untuk melaporkan hal yang sama seperti pos sebelumnya, yaitu menginformasikan kepada pos selanjutnya. Tidak lupa, para PJL harus kembali mematikan buzzer dan menaikkan palang pintu. Ternyata, tidak semudah yang dibayangkan ya tugas seorang PJL, dimana ia bertanggung jawab untuk memastikan jalur kereta steril apabila si ular besi hendak melintas.
Namun, pemandangan berbeda terihat dari perlintasan kereta api yang berada di desa-desa. Tidak ada buzzer, tidak ada pengingat dari pos sebelumnya, dan tidak ada palang pintu yang layak seperti di kota. Namun tanggung jawab mereka sama besarnya seperti para PJL yang berada di kota-kota besar, dan dengan upah yang ala kadarnya. Untuk para PJL di daerah-daerah terpencil, mereka harus tetap fokus dan lebih peka terhadap suara kereta api, karena tidak adanya sensor otomatis yang memberitahu kapan kereta akan lewat.