23 Juli 1968 akan menjadi momen kelam yang tak terlupakan bagi seluruh penumpang maskapai Israel, El Al Flight 426. Pasalnya, pesawat Boeing 707 tersebut semula dijadwalkan berangkat menuju Roma dari Inggris pada 22 Juli 1968 sore hari. Namun karena mengalami kendala pada mesin, memaksa pihak maskapai untuk mencari pesawat pengganti. Sayangnya, pesawat pengganti tersebut tidak cukup kuat untuk menempuh perjalanan dari Inggris menuju Roma.
Baca Juga: KNKT: Isi Black Box Bisa Diterjemahkan ke Format Excel
Ketika pesawat tersebut baru saja melanjutkan perjalanannya, kondisi dalam pesawat hanya ada 38 penumpang, tujuh diantaranya merupakan karyawan El Al beserta anggota keluarga mereka. Jumlah awak kapal saat itu 10 orang, dimana empat diantaranya berada di ruang kokpit, yaitu Chief Pilot Oded Abarbanell, flight engineer Yonah Lichtman, training pilot Avner Slapak dan first officer Maoz Poraz.
Pesawat tersebut lalu dibajak oleh tiga orang anggota Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), sebuah organisasi sekuler Palestina yang didirikan pada tahun 1967. Dalam melakukan aksinya, ketiga tersangka dalam kasus ini membagi tugas sesuai dengan keahlian mereka. Satu orang menyambangi ruang kokpit untuk memulai pembajakan, dan dua sisanya mengurusi para penumpang dan kru pesawat lainnya.
Pembajak yang masuk ke ruang kokpit lalu memukuli co-pilot dengan menggunakan gagang pistol yang ia bawa lalu memerintahkan sang pilot untuk menerbangkan pesawat tersebut menuju Algeria. Sementara dua pembajak lain sibuk mengurusi para penumpang serta kru pesawat yang berada di kabin. Para sandera tersebut diancam dengan menggunakan beceng dan beberapa buah granat.
Baca Juga: Mengenal Jasa Penerbangan Charter di Indonesia
Drama kembali terjadi kala pesawat naas tersebut mendarat di Bandara Dar El Beida di Algeria. Sejurus kemudian, pihak berwenang Aljazair menyita pesawat tersebut. Dalam waktu 24 jam setelah tiga orang tersebut menguasai pesawat, semua penumpang non-Israel, kurang lebih sekitar 23 orang, diterbangkan kembali ke Roma dengan status bebas.
Pada tanggal 27 Juli, 10 perempuan berkebangsaan Israel yang tersisa, awak kapal, dan ketiga anak kecil yang juga berada di kapal lalu dibebaskan. Berarti tersisa 12 orang Israel dengan rincian tujuh awak pesawat dan lima penumpang, dua di antaranya adalah karyawan maskapai penerbangan. Dua minggu berselang, para sandera kedatangan seorang pria Abarbanell yang dikenal sebagai George Habash, yang notabene merupakan pimpinan dari PFLP. Tidak ada yang mengetahui maksud dari kunjungan tersebut, tetapi tak berselang lama setelah kunjungan tersebut, para sandera yang merupakan orang-orang Israel tersebut dipindahkan ke vila pribadi dengan kondisi yang jauh lebih manusiawi dari sebelumnya.
Dengan akses ke surat kabar dan radio, para pembajak ini mengerti bahwa berbagai upaya internasional seperti yang dilakukan oleh PBB, pihak berwenang Italia, dan Federasi Internasional Asosiasi Pilot Penerbangan untuk menjamin pembebasan mereka. Pada saat yang bersamaan, Abarbanell kemudian mulai mencari celah, dan merencanakan sebuah operasi militer untuk membebaskan para sandera tersebut.
Baca Juga: Terpaksa Menginap di Bandara? Siapa Takut!
Di bawah perintah Menteri Pertahanan Moshe Dayan, dan arahan dari Kepala Staf Haim Bar-Lev dan Panglima Angkatan Udara Mordechai Hod, sebuah rencana penyelamatan dirancang. Menurut Abarbanell, perampok Israel tersebut bermaksud menggunakan kesempatan untuk menghancurkan semua pesawat Air Algerie yang diparkir di bandara.
Pada tanggal 1 September 1968, 12 sandera Israel dinyatakan bebas dan diterbangkan menuju domisili masing-masing. Boeing 707 senilai $ 6 juta juga dikembalikan ke Israel. Tidak ada yang kehilangan nyawa dalam drama pembajakan yang berlangsung selama 39 hari tersebut. Tapi era pembajakan politik dan serangan teror lainnya baru saja dimulai.