Berita mengejutkan datang dari negeri tetangga kita, Singapura dimana salah satu moda transportasi yang menjadi tulang punggung warganya, Singapore MRT (SMRT) jalur Bandara Internasional Changi ditutup. Penutupan jalur ini dibumbui tanda tanya besar di setiap benak para pengguna setianya, “Apakah jalur ini kurang menghasilkan seperti jalur yang lainnya?”. Tak ayal, penutupan jalur ini berbuntut pada antrean penumpang yang hendak menggunakan jasanya.
Baca Juga: Sering ‘Ngaret,’ Minat Warga Singapura Gunakan MRT Terus Menurun
Sebagaimana yang dihimpun KabarPenumpang.com dari laman straitstimes.com (21/1/2018), para penumpang yang hendak menggunakan jasa SMRT diarahkan oleh pihak SMRT, beberapa sukarelawan dari Land Transport Authority (LTA), dan pihak Bandara Changi untuk menggunakan layanan bus antar-jemput yang tersedia di Terminal 3.
Namun Anda jangan dulu berpikiran yang negatif, karena layanan SMRT yang berada di Bandara Changi ini ditutup untuk sementara waktu lantaran adanya pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan oleh operator SMRT. Penyediaan bus antar-jemput ini merupakan bentuk tanggung jawab pihak SMRT yang dinilai telah mengganggu kenyamanan para pengguna setianya. Nantinya penumpang akan diantarkan menuju stasiun SMRT terdekat untuk kembali melanjutkan perjalanannya.
Para penumpang akan dikenakan biaya sebesar SG$1 atau yang senilai dengan Rp10.000 untuk perjalanan menuju Stasiun MRT Bugis menggunakan bus ekspres setiap 15 hingga 18 menit sekali. Sedangkan bagi para penumpang yang hendak bertolak menuju Stasiun MRT Tanah Merah dan Expo dapat menggunakan layanan shuttle bus yang berangkat setiap tiga hingga lima menit sekali di kala peak hours.
Namun, walaupun para penggunanya sempat didera kebingungan akibat penutupan tersebut, nyatanya SMRT tetap tidak kehilangan pasar. “Saya akan menggunakan shuttle bus menuju Stasiun Bugis dan tetap menggunakan layanan SMRT,” ungkap seorang komuter bernama Mary Ling.
Senada dengan Mary, salah seorang mahasiswa asal Swedia yang tengah mengikuti program pertukaran pelajar di Nanyang Technological University juga mengaku tetap setia dengan layanan yang diberikan oleh SMRT. “Mungkin akan membawa saya 15 hingga 20 menit lebih lama untuk sampai tujuan,namun itu tidaklah menjadi masalah,” ungkap mahasiswa yang enggan menyebutkan namanya tersebut.
Baca Juga: Sejarah MRT Singapura, Dibangun di Atas Keterbatasan Lahan
Diketahui, pada Bulan Januari ini, beberapa stasiun SMRT yang terhampar di East-West Line akan memiliki jam operasional yang lebih pendek pada akhir pekan, termasuk penutupan penuh yang terjadi pada tanggal 21 dan 28 Januari 2018. Dua penutupan layanan ini ditujukan untuk perawatan rel dan peningkatan layanan.
Hal serupa juga pernah terjadi pada akhir tahun 2017 kemarin. Sebanyak 17 stasiun di East-West Line dan dua stasiun di North-South Line memiliki jam operasional yang lebih pendek pada akhir pekan, dan penutupan penuh pada hari Minggu sebanyak dua pekan berturut-turut (10 dan 17 Desember).
Haruskah pemeliharaan jalur yang dilakukan oleh operator SMRT berbuntut pada penutupan sejumlah layanan? Dikutip dari laman resmi SMRT (smrt.com.sg), penutupan jalur ini merupakan dampak negatif dari instalasi sistem Communications-Based Train Control (CBTC) di East-West Line. “Prosesnya bisa memakan waktu 7,5 jam dalam semalam,” tulis pihak SMRT di laman resminya. “Rencananya pemasangan sistem komunikasi ini rampung pada Juni 2018.” imbuhnya.