Kemacetan di Ibu Kota memang selalu menarik untuk dibahas. Ini bukanlah perkara mencari siapa yang salah, namun lebih kepada bagaimana cara mengentaskan kemacetan yang semakin hari semakin “memerah” tersebut. Upaya pemerintah untuk menghadirkan sarana transportasi umum berbasis massal terus dikembangkan, mengingat kehadiran beberapa proyek pemerintah ini belum sepenuhnya berhasil meminimalisir kemacetan yang ada, seperti bus TransJakarta dan Commuter Line.
Baca Juga: Sebagai Kota Termacet di Dunia, DKI Jakarta Raih Posisi Ketiga!
Tidak hanya menghadirkan beberapa moda transportasi yang diharapkan dapat mengentaskan masalah kemacetan, pemerintah juga memberlakukan beberapa program untuk mengurai masalah yang sudah mengakar ini. Sebut saja pemberlakuan program ganjil-genap di sepanjang ruas jalan protokol Ibu Kota yang merupakan pengganti dari sistem three-in-one yang sudah dihapuskan sejak awal tahun 2016 silam. Selain itu ada juga pembangunan simpang susun Semanggi yang diprakarsai oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama.
Jika dibandingkan kota-kota besar di negara lain yang memiliki masalah yang sama dengan Jakarta, prediksi otoritas berwajib di sana mengenai relevansi bertambahnya jumlah kendaraan dengan kemacetan yang mungkin terjadi seolah dieksekusi dengan tepat. Ambil contoh negara tetangga kita, Singapura yang berhasil menjadikan jaringan Metro-nya sebagai “obat” dari masalah kemacetan yang ada di sana.
Berbeda dengan Singapura, Indonesia menganut azas ‘pemadam kebakaran,’ karena pembangunan umumnya baru akan dijalankan ketika “petaka” sudah di depan mata, bahkan ada yang menyebut sudah terjadi. Sebagai perbandingan, pada tahun 1981 silam, berlandaskan pada The Comprehensive Traffic Study, Pemerintah Singapura mulai berencana untuk membangun sebuah sistem transportasi baru yang bisa mengatasi kemacetan yang mungkin akan muncul dalam beberapa tahun ke depan, terlebih hasil studi tersebut mengatakan bahwa seluruh sistem bus di Singapura dinilai tidak praktis dan efisien. Dari situlah cikal bakal Mass Rapid Transit (MRT), yang kini menjadi salah satu primadona dunia transportasi di sana.
Jika dipantau lebih jauh lagi, beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara juga sudah membuktikan bahwa kehadiran Metro atau moda berbasis kereta yang memiliki jalur eksklusif dimana tidak akan ditemukan perlintasan sebidang, mampu menurunkan tingkat kemacetan yang ada. Sebut saja Manila yang mulai mengoperasikan jaringan Metro sejak tahun 1984, Singapura sejak tahun 1987, Kuala Lumpur pada tahun 1995, dan yang terakhir adalah Bangkok pada tahun 2004.
Baca Juga: Sejarah MRT Singapura, Dibangun di Atas Keterbatasan Lahan
Jadi tidaklah heran ketika ada jargon yang menyebutkan bahwa Jakarta merupakan kota terbesar di Kawasan Asia Tenggara yang tidak memiliki jaringan Metro. Setidaknya, jargon tersebut akan perlahan luntur ketika Metro Jakarta atau yang dikenal sebagai MRT Jakarta direncanakan mulai beroperasi pada tahun 2019 mendatang. Mungkin langkah yang diambil oleh Pemprov DKI dalam menghadirkan sistem jaringan Metro di Indonesia sudah terlambat, namun tetap diharapkan ini merupakan moda transportasi yang bisa mengatasi masalah kemacetan.
Sebagaimana KabarPenumpang.com lansir dari laman theguardian.com, Jakarta juga disebut sebagai Scooter City, dimana banyak orang mengandalkan kendaraan beroda dua ini tidak hanya sebagai sarana transportasi mereka, tapi juga untuk mengirim barang dan lain-lain.