Laporan terbaru menunjukkan bahwa teroris sekarang dapat membuat bom yang sangat tipis sehingga tidak dapat terdeteksi oleh deteksi sinar-X. Dalam upaya untuk melindungi terhadap ancaman tersebut, pemangku kebijakan di Amerika Serikat belakangan ini diketahui telah membuat suatu larangan tentang membawa laptop dan perangkat elektronik besar lainnya di dalam kabin penumpang yang mengudara antara Eropa dan Amerika Serikat. Tentu saja, ini akan menambah panjang rentetan larangan yang sudah ada pada penerbangan dari delapan Negara di daerah Timur Tengah.
Baca Juga: Qatar Airlines dan Beberapa Maskapai Timur Tengah Sewakan Laptop Pada Penumpang
Dengan munculnya kabar tersebut, kebijakan yang diambil Negeri Paman Sam tentu bakal menyebabkan puluhan ribu penumpang per harinya bertanya-tanya: Apakah kebijakan tersebut layak dilakukan? Tentu saja pengeluaran kebijakan tersebut memancing berbagai tanggapan dari banyak kalangan yang merasa keberatan dengan adanya larangan membawa gadget berukuran besar tersebut. Mereka beranggapan, apabila kebijakan tersebut sengaja dirancang untuk membuat para penumpang merasa lebih aman selama melakukan penerbangan, maka penting juga pihak yang bersangkutan untuk mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan dan tingkat keefektifannya.
Hal semacam itu yang akhirnya mendorong seorang ahli di bidang hukum untuk meneliti bagaimana larangan tersebut berpengaruh pada kebebasan sipil. Namun temuan di lapangan sangatlah mengejutkan, dimana ada kemungkinan campur tangan politik yang turut mendorong kebijakan tersebut, yang pada akhirnya tidak terlalu banyak mementingkan keamanan para penumpangnya.
Dengan adanya larangan semacam ini, ada banyak pihak yang merasa dirugikan karena tidak bisa memanfaatkan waktu penerbangan mereka untuk melakukan pekerjaannya, seperti para pebisnis dan orang-orang yang sangat menjunjung tinggi slogan “Waktu Adalah Uang”. Selain itu, seperti yang KabarPenumpang.com kutip dari laman scientificamerican.com, Rabu (17/5/2017), para orang tua yang tengah melakukan perjalanan bersama keluarganya juga terpaksa menggunakan cara lain untuk menenangkan si buah hati jika “rewel” selama perjalanan.
Baca Juga: Tanggapi Pelarangan Gadget di Kabin, Emirates Airlines Buat Iklan Lucu di YouTube
Kembali, tidak bisa dipungkiri ketika semua orang akan ketakutan jika dihadapi dengan sebuah ancaman terorisme. Pihak yang berwenang seolah terburu-buru untuk mengeluarkan sebuah kebijakan yang bisa dibilang tidak efektif dari segi pengeluaran biaya. Seolah buta dengan analisis biaya yang tinggi, namun potensi untuk meningkatkan keamanan penumpang sangatlah rendah.
Dengan memindahkan gadget-gadget yang dikhawatirkan terkandung sebuah bom di dalamnya ke dalam bagasi, hal tersebut terkesan hanyalah memindahkan sebuah ancaman, bukan menghilangkannya. Ambil contoh ketika ada sebuah laptop yang berisikan bom dan disimpan di dalam bagasi, ketika bom tersebut meledak, nyawa penumpang pun akan terancam ketika pesawat tersebut mengalami kerusakan akibat ledakan dan jatuh. Jika dihadapkan dengan contoh kasus seperti itu, tentu saja kebijakan larangan tersebut tidak ada maknanya.
Untuk menanggulangi kasus berikut, pihak yang berwenang nampaknya harus membenahi semua regulasi yang berlaku dan mulai mempertimbangkan beberapa cara yang dinilai ampuh untuk menghadapi aksi teror di maskapai. Pertama, pihak bandara mesti menyiapkan sebuah alat skrining yang mampu mendeteksi sebuah bom, bahkan dalam ukuran mikro sekalipun. Kedua, pihak maskapai perlu menyediakan sebuah area yang benar-benar kuat untuk meredam sebuah ledakan di dalam kargo, alih-alih ada sebuah bom yang lolos dari alat skrining pada poin pertama.
Baca Juga: Pemerintah AS Larang Bawa Gadget ke Dalam Kabin
Pertimbangan semacam ini bukanlah tanpa landasan, mengingat salah satu tragedi penerbangan terbesar sepanjang masa, yaitu serangan terhadap penerbangan Pan Am 103 yang meledak di Lockerbie dan menewaskan 270 orang. Ledakan tersebut disebabkan oleh sebuah bom yang diletakkan pada sebuah koper yang berada di dalam kargo.
Pada akhirnya, ketakutan orang-orang terhadap serangan teror melebihi ketakutan mereka akan ancaman lain yang sebenarnya lebih nyata dan cenderung lebih membahayakan. Akibatnya, pihak yang berwenang lebih memiliki insentif untuk menilai suatu rencana yang diambil untuk mencegah serangan teror terlalu jauh, bahkan hingga mengorbankan peningkatan risiko keselamatan yang lebih umum dan lebih mungkin terjadi.