Lembaga yang satu ini lumayan sering terpublikasi di berbagai media, lantaran beragam kebijakan yang revolusioner diterapkan terkait keamanan bandara di Amerika Serikat. Transportation Security Administrator (TSA) resminya terbentuk sejak 19 November 2001, tak lama setelah momen serangan 11 September 2001 di Gedung Kembar WTC, New York.
Awalnya TSA merupakan bagian dari Departemen Perhubungan Amerika Serikat, namun mengingat situasi dan kondisi, kemudian TSA dipindah ke Department of Homeland Security atau Departemen Keamanan Dalam Negeri AS pada 9 Maret 2003.
Baca juga: Jelang Musim Panas, AS Perketat Prosedur Keamanan di Bandara
TSA menjadi badan yang bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan penumpang dan bagasi di lebih dari 450 bandara Amerika Serikat. Bila pun pengelola bandara menunjuk mitra (pihak ketiga) sebagai jasa keamanan, maka skrining yang dilakukan oleh perusahaaan swasta harus dibawah pengawasan TSA. Perusahan jasa keamanan bandara juga harus mendapat persetujuan dari TSA berdasarkan Screening Partnership Program (SPP) dan mengikuti prosedur TSA. Ketatnya standar keamanan yang diterapkan TSA terasa wajar adanya, mengingat potensi dan ancaman terorisme yang tak kunjung surut.
Berangkat dari rekam jejak TSA, belum lama ini PT Angkasa Pura 1 (Angkasa Pura Airports) telah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara kementerian Perhubungan dan TSA dalam kegiatan “Training Aviation Security Screener for Female”.
Adanya pelatihan ini untuk meningkatkan kewaspadaan dan ketelitian saat melakukan identifikasi tindakan teror di bandara. Pelatihan ini berkhusus pada identifikasi pelaku teror bunuh diri yang bisa mengancam keamanan dan keselamatan penerbangan.
“Pelatihan ini bertujuan agar para personel aviation security (avsec) wanita mampu menerapkan efektifitas dalam proses pemeriksaan atau skrining penumpang secara optimal. Juga bagaimana mengatasi dan menggagalkan serangan bom bunuh diri. Mengingat beberapa tahun terakhir ini terjadi beberapa aksi teror di bandara. Karenanya, sangat penting bagi kami selaku pengelola bandara untuk terus melakukan meningkatkan kemampuan, pembaharuan, dan meng-update teknologi yang terus berkembang,” ujar Direktur Utama Angkasa Pura Airports Danang S. Baskoro yang dikutip KabarPenumpang.com dari siaran pers (25/8/2017).
Pada tahun 2005 TSA pernah melakukan penilaian terhadap Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali dan pada tahun 2007 bandara ini dinyatakan ‘comply‘ atau yang artinya bandara ini memenuhi seluruh aspek keselamatan yang disyaratkan. Hal ini membuat bandara I Gusti Ngurah Rai menjadi satu-satunya bandara di Indonesia yang secara aspek keamanan telah dinyatakan comply oleh dua institusi keamana terkemuka luar negeri yakni Transportation Security Administration (TSA) Amerika Serikat dan dan Office of Transport Security (OTS) Australia.
“Kami sangat mendukung pelatihan ini dan berharap dapat menyerap pengetahuan dan pengalaman dari TSA,” imbuh General Manager Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Yanus Suprayogi.
Baca juga: Antisipasi Terorisme, Bandara-Bandara di Australia Dihimbau Perketat Keamanan
Hal ini sejalan dengan instruksi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang meminta agar operator bandara untuk selalu mengutamakan keselamatan dan keamanan penerbangan. “Saya minta operator bandara untuk mengutamakan safety dan security, karena kalau safety dan security bermasalah di udara itu fatal,” ujar Budi.
Diketahui, pada pelatihan yang dilakukan pada Agustus lalu ini ada 30 personil aviation security (avsec) wanita dari 13 cabang bandara Angkasa Pura I dilatih untuk mengidentifikasi pelaku teror, khususnya aksi teror bunuh diri yang dapat mengancam keamanan dan keselamatan penerbangan.