Sesuai dengan namanya, bandara ini dibangun untuk menghormati Presiden pertama Palestina, Yasser Arafat yang wafat pada 11 November 2004. Dahulu bandara ini merupakan salah satu lokasi yang dijadikan tumpuan oleh warga Palestina sebagai jendela dari kawasan Gaza ke luar negeri.
Yasser Arafat International Airport diresmikan pada tahun 1998, dibangun dengan menggunakan dana hibah asing senilai jutaan dollar. Tercatat, Mesir, Jepang, Arab Saudi, Spanyol, Jerman, dan sejumlah negara-negara Uni Eropa lainnya turut berkontribusi dalam pembangunan bandara ini. Adapun eksekusi pembangunan bandara ini merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Oslo II tahun 1995.
Baca Juga: Bandara Tempelhof, Megastruktur NAZI Yang Kini Jadi Taman Kota Besar di Berlin
Bandara yang dioperasikan langsung oleh otoritas Palestina ini menjadi markas dari maskapai Palestinian Airlines. Dilansir KabarPenumpang.com dari berbagai sumber, Yasser Arafat International Airport ini mampu menangani lebih dari 700.000 penumpang setiap tahunnya dengan waktu operasional 24 jam dalam 364 hari dalam setahun. Itu berarti, bandara ini tidak pernah beristirahat dan terus melayani para penumpangnya.
Setelah menghabiskan dana senilai US$86 juta dengan waktu konstruksi selama kurang lebih satu tahun, bandara ini pun rampung. Dalam acara opening ceremony pada 24 November 1998, turut pula hadir Yasser Arafat dan Presiden Amerika kala itu, Bill Clinton. Pada waktu yang bersamaan, pembukaan bandara tersebut digambarkan sebagai bukti kemajuan Palestina dan sebuah pergerakan menuju pembangunan negara yang seutuhnya.
Adapun bandara dengan kode GZA ini sempat berhenti beroperasi selama periode intifada kedua pada 8 Oktober 2000. Intifada merupakan sebuah gerakan perlawanan warga Palestina terhadap serangan yang dilancarkan militer Israel. Intifada kedua Palestina ini lebih dikenal sebagai Intifada Al-Aqsa.
Harapan besar warga Palestina akan bandara ini seakan sirna manakala Angkatan Udara Israel mengebom stasiun radar dan menara kontrol menggunakan jet F-16 pada 4 Desember 2001. Beberapa bulan berselang, tepatnya pada 10 Januari 2002, buldoser milik Israel menghancurkan landas pacu Yasser Arafat International Airport. Walaupun sudah melumpuhkan beberapa titik vital di bandara tersebut, namun staf bandara masih menangani loket pembelian tiket dan area bagasi selama periode 2001 hingga 2006. Diketahui, dalam periode tersebut, tidak ada satupun penerbangan teridentifikasi dari bandara yang terletak di Jalur Gaza, di antara Rafah dan Dahaniya, dekat perbatasan Mesir tersebut.
Geram dengan tindakan penghancuran yang dilakukan oleh pihak Israel, International Civil Aviation Organization (ICAO) mengutuk keras tindakan tersebut. ICAO menganggap tindakan tersebut sudah melanggar Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation yang merupakan bagian dari Montreal Convention di tahun 1971. Selain itu, ICAO juga mendesak Israel untuk membenahi fasilitas publik tersebut agar bisa digunakan kembali.
Namun pejabat Israel menolak desakan ICAO dan menjadikan masalah keamanan sebagai alasan utama penolakan tersebut. Israel berpendapat bahwa bandara tersebut hanya menguntungkan para diplomat dan para eksekutif yang hendak terbang, dan dianggap tidak memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ekonomi di Palestina.
Baca Juga: Igor Sikorsky, Kini Jadi Nama Bandara di Dua Negara
Kini, lokasi yang pernah menjadi jendela warga Palestina untuk mengudara hanya menyisakan puing dan cerita kelam. Yasser Arafat International Airport merupakan salah satu bukti nyata dampak buruk dari peperangan, yang tidak hanya merugikan satu pihak saja, melainkan banyak kepentingan yang turut terkubur reruntuhan bangunan ini.