Belum lama ini beredar foto pesawat Garuda Indonesia yang livery-nya diubah menjadi pesawat kepresidenan. Usut punya usut, ternyata foto tersebut benar adanya. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengakui pesawat tipe Boeing 777-300ER bakal digunakan Presiden Jokowi untuk menghadiri ASEAN-US Summit 2020 di Las Vegas, Amerika Serikat, Maret mendatang.
Baca juga: Berpendingin Es Balok, Inilah Kereta Kepresidenan Soekarno
Pasalnya, pesawat kepresidenan yang ada saat ini, Boeing Business Jet (BBJ) tipe 737-800, dinilai tak efisien jika digunakan untuk penerbangan jarak jauh. Selain harus transit berkali-kali, tingkat kenyamanan yang ditawarkan keduanya juga berbeda, mengingat 737 tergolong narrowbody atau berbadan sempit dan 777 (trilple) seven masuk dalam kategori widebody atau berbadan lebar yang punya tingkat kenyamana lebih baik, utamanya untuk penerbangan jarak jauh.
Meski demikian, terlepas dari Boeing 777-300ER yang disewa untuk agenda Presiden Jokowi Maret mendatang, sebetulnya, untuk ukuran Presiden RI, model pesawat manakah yang lebih cocok dimiliki pemerintah guna memudahkan orang nomer satu di Republik ini melakoni tugas-tugas kenegaraan? Dihimpun KabarPenumpang.com dari berbagai sumber, berikut ulasan untung rugi narrowbody vs widebody pesawat kepresidenan Indonesia.
1. Efisiensi
Sebetulnya masalah efisiensi masih menjadi perdebatan di beberapa kalangan. Namun, bila bicara dari data yang ada, rata-rata kunjungan kenegaraan Presiden RI berada dikisaran 12-16 kunjungan per tahun. Misalnya, di tahun 2015 lalu, Presiden Jokowi tercatat melakukan kunjungan kerja sebanyak 16 kali. Sebagai pembanding, di tahun yang sama, Kanselir Jerman, Angela Merkel, tercatat melakukan kunjungan hingga 56 kali.
Dari perbedaan mencolok tersebut, beberapa pihak menilai sangat wajar bila Indonesia memutuskan untuk menggunakan pesawat narrowbody sebagai pesawat kepresidenan. Pasalnya, bila Indonesia memaksakan membeli pesawat widebody, dengan jumlah kunjungan mentok di angka belasan, hal itu dinilai justru akan menggerus anggaran dan sangat tak efisien.
Betapa tidak, untuk pesawat medium sekelas Boeing 737 saja, setidaknya membutuhkan kocek Rp43 miliar untuk perawatan rutin, mencakup Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO). Perawatan rutin tersebut bisa saja per bulan atau lebih, tergantung jam terbang dan frekuensi pemakaian. Bila pesawat narrowbody tersebut saja membutuhkan kocek sebesar itu, lantas, bagaimana dengan widebody? Pastinya jauh lebih besar.
Sedangkan, jika menyewa pesawat, untuk ukuran pesawat jet dengan kapasitas 13 penumpang saja, harganya berkisar Rp123 juta per jam. Tentu saja harga untuk menyewa sebuah pesawat 777-300ER yang notabene berbadan lebar, harganya bisa jauh lebih dari pada itu. Jika sudah begitu, dengan berbagai penjelasan di atas, lebih efisien mana, menyewa atau memiliki pesawat widebody sendiri?
2. Faktor Keselamatan
Sebagai pesawat sewaan, tentu saja fitur-fiturnya adalah fitur bawaan layaknya penerbangan komersial atau dalam hal ini tidak memiliki fitur penunjang keselamatan untuk standar pesawat kepala negara , seperti anti rudal atau biasa disebut CAMS (Civilian Aircraft Missile Protection System).
3. Risiko Saat Transit
Seperti sudah disebutkan di atas, meski kemewahan melengkapi pesawat narrrowbody kepresidenan, namun jarak jangkau yang terbatas untuk penerbangan jarak jauh, menjadikan pesawat kepresidenan harus transit untuk isi bahan bakar di suatu atau beberapa bandara. Selain transit akan melelahkan bagi rombongan VVIP, faktor keamanan juga menjadi risiko bagi pejabat negara.
4. Kebanggaan dan Identitas
Meskipun hanya mempunyai pesawat medium Boeing Business Jet (BBJ) tipe 737-800, Indonesia mungkin patut berbangga diri karena masih memiliki pesawat khusus kepresidenan. Tengoklah negara adidaya kedua di dunia, Cina, yang tidak mempunyai pesawat khusus kepresidenan. Padahal, dari segi teknologi, negara tersebut sudah mampu memproduksi pesawat sipil maupun militer sendiri.
Meski demikian, ketika butuh, maskapai domestik sudah menyiapkan armada khusus berupa Boeing 747-400 dan diubah sedemikian rupa hingga menyerupai kantor bahkan hotel. Tentu saja sebelumnya harus melewati pemeriksaan ketat.
Baca juga: Jejak Boeing 707 di Indonesia: Pernah Dioperasikan 4 Maskapai Hingga Jadi Pesawat Kepresidenan
Sebetulnya masalah kebanggaan dan identitas sangat tentatif. Saat pesawat-pesawat para pemimpin kepala dunia berkumpul, pada umumnya tidak melihat apakah pesawat tersebut menyewa atau tidak atau livery dari pesawat itu sendiri, sebab, saat pesawat disewa untuk tugas kenegaraan, biasanya livery-nya sudah disesuaikan dengan pesanan.
Hanya saja, yang membedakan tetaplah pada aspek keselamatan, mengingat, pesawat dengan kepresidenan idealnya sudah dilengkapi perangkat pertahanan udara terbatas. So, dengan berbagai penjelasan di atas, apakah Anda termasuk ke dalam kelompok pro pesawat kepresidenan atau kontra (menyewa pesawat hanya pada perjalanan jauh)?