Asian Games akan diselenggarakan tahun 2018 mendatang dan Indonesia sebagai tuan rumahnya. Sebagai tuan rumah, Indonesia memilih Palembang dan Jakarta untuk menjadi tempat perhelatan akbar Asian Games ke XVIII tersebut. Selain Jakarta yang berbenah, Palembang sebagai pusat acara benar-benar merapikan dirinya.
Baca juga: Kejar Asian Games 2018, Proyek Palembang LRT Telah Mencapai 40 Persen
Memiliki ikon sungai Musi dan jembatan Ampera, kota yang terkenal dengan pempeknya, tidak sama sekali mengganggu gugat keberadaan jembatan Ampera, melainkan menambah jembatan lain untuk memperlancar arus kendaraan. Jembatan tersebut yakni jembatan Musi IV dan VI untuk membantu menopang beban berat yang ditanggung jembatan Ampera saat ini dengan terus bertambahnya kendaraan.
Tapi tahukah Anda bagaimana jembatan Ampera bisa menjadi ikon kota Palembang? KabarPenumpang.com merangkum, bahwa jembatan ini hadir ditengah kota palembang untuk menyatukan Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh sungai Musi. Dulu pada masa penjajahan Belanda, jembatan ini pernah terpikirkan, namun hingga Belanda hengkang dari Indonesia proyek pembangunannya tak pernah terealisasi.
Kemudian, pada masa kemerdekaan, gagasan pembangunan jembatan ini kembali hadir, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan yang akan disebut jembatan Musi karena melintasi sungai Musi. Usulan ini bisa dikatakan sangat nekat karena anggaran yang ada di Palembang awalnya hanya Rp30 ribu. Tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan jembatan ini yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, HA Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M Ali Amin, dan Indra Caya.
Tim ini awalnya dibentuk untuk mendekatkan diri dengan Presiden Soekarno untuk mendukung rencana pembangunan jembatan. Pendekatan tersebut berhasil, bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir yang berarti ada di pusat kota.
Untuk pembangunan ini, Bung Karno mengajukan syarat yakni penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan dan tanda tangan kontrak dilakukan pada 14 Desember 1961 degan biaya US$4.500.000 (saat itu kurs US$ 1 = Rp200). Pembangunan dimulai tahun 1962 dengan biaya menggunakan dari dana pampasan perang Jepang dan tenaga ahli untuk pembangunan jembatan ini pun dari Jepang.
Sebelum bernama jembatan Ampera dulunya bernama jembatan Bung Karno, nama ini diberikan sebagai penghargaan karena Bung Karno benar-benar memperjuangkan keinginan warga Palembang memiliki jembatan di atas sungai Musi. Pada tahun 1965, jembatan ini menjadi yang terpanjang di Asia Tenggara dan terjadi pergolakan politik tahun 1966 den mengubah nama jembatan ini menjadi Ampera yang artinya Amanat Penderitaan Rakyat.
Dulu saat pertama kali beroperasi, bagian tengah, belakang dan depan jembatan ini bisa diangkat keatas agar tiang kapal yang melewatinya tidak tersangkut badan jembatan. Kecepatan pengangkatan jembatan ini sekitar 10 meter per menit dengan total waktu pengangkatan jembatan secara penuh selama 30 menit. Untuk mengangkat bagian tengah jembatan ini, ada dua bandul pemberat dengan masing-masing 500 ton di dua menaranya. Sayangnya sejak tahun 1970, aktivitas menaikkan dan menurunkan jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi.
Baca juga: Jelang ASIAN Games 2018, Palembang Datangkan LRT Produksi PT INKA
Alasan tidak dilakukannya pengangkatan karena mengganggu aktivitas arus lau lintas di atas jembatan. Tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara di turunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban ini. Diketahui, jembatan Ampera pernah direnovasi pada tahun 1981 dan menghabiskan biaya Rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan Jembatan Ampera bisa membuatnya ambruk. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.