Pesawat kargo Trigana Air Boeing 737-500 yang tergelincir hingga keluar landasan saat mendarat sekitar pukul 11.26 WIB, di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu lalu, akhirnya dipotong-potong. Hal itu dilakukan untuk memudahkan proses evakuasi.
Baca juga: Otoritas Rusia Terpaksa ‘Mutilasi’ A321 Ural Airlines yang Lakukan Hard Landing di Ladang Jagung
Hanya saja, proses evakuasi tidak harus dengan cara dipotong-potong. Sebab, ketika dipotong menjadi empat bagian atau lebih, pesawat bisa dipastikan sudah tak lagi digunakan. Karenanya, alasan yang paling tepat untuk itu, menurut beberapa kalangan, adalah total loss.
Pesawat Trigana Air berisi dua pilot, satu teknisi, dan satu FOO (flight operation officer). Pesawat tergelincir setelah melakukan prosedur return to base (RTB) atau kembali ke bandara asal keberangkatan.
Executive General Manager Bandara Halim Perdanakusuma Marsma Pnb TNI Nandang Sukarna mengatakan, opsi RTB diambil usai kedua mesin pesawat mati atau mengalami kegagalan (engine failure) saat terbang menuju Makassar, Sulawesi Selatan. Belum diketahui secara pasti penyebab kedua mesin pesawat mati.
Dalam kondisi melayang di udara dengan kondisi kedua mesin pesawat mati, Boeing 737-500 Trigana Air pun mendarat. Sayangnya, pendaratan gagal dan pesawat tergelincir ke area rerumputan sekitar runway.
Guna memudahkan evakuasi, pesawat pun dipotong-potong menjadi tiga bagian, terdiri dari depan, tengah, dan belakang. Tetapi, bila melihat secara jeli, sebetulnya alasan pesawat dipotong-potong untuk memudahkan proses evakuasi tidak sepenuhnya benar. Boleh jadi, alasan di balik itu adalah pesawat mengalami apa yang disebut sebagai total loss.
Disarikan dari artikel Aircraft Physical Damage karya Thomas H. Chappell, total loss adalah kondisi dimana pesawat mengalami kerusakan -karena kecelakaan atau hal lain- dan membuat nilai pesawat menjadi turun jauh di atas biaya yang bisa dicover pihak asuransi.
Menurut sumber lain -masih dalam tulisan tersebut- total loss merupakan kondisi dimana tingkat kerusakan pesawat cukup parah dan biaya perbaikannya 70 persen lebih tinggi dari budget reparasi yang diberikan pihak asuransi yaitu hanya sebesar 30 persen dari harga perkiraan perbaikan.
Bila dirinci dari bagian-bagian kerusakan yang dimaksud, sebetulnya itu masih cukup relatif. Sebab, total loss bukan bergantung pada seberapa besar kerusakan pada pesawat, tetapi lebih pada total polis yang bisa didapat atas kerusakan pesawat tersebut dari pihak asuransi.
Baca juga: Koper Bekas Badan Pesawat Boeing 747 Dijual Rp38 Juta! Berminat? Cuma Ada 150 di Dunia
Andai saja user atau pemilik pesawat bisa menyepakati definisi total loss menjadi kondisi dimana nilai perbaikan atas kerusakan pesawat minimal bisa mencapai 70 atau bahkan 80 persen, maka, pesawat bisa saja tidak dipotong-potong karena akan diperbaiki sampai bisa beroperasi kembali. Sebab, dengan dipotong-potong, pesawat sudah hampir pasti tidak akan kembali beroperasi.
Sesudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian, biasanya pesawat akan tetap diperjualbelikan di pasar pesawat bekas. Tentu, harganya jauh lebih murah dari biasanya. Pesawat-pesawat bekas itu nantinya bisa disulap menjadi beberapa hal, seperti furniture, restoran, penginapan, dan lain sebagainya.