Sebagai pelopor layanan kereta bawah tanah di Indonesia, Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta yang akan mulai beroperasi pada Maret 2019 mendatang masih terus melakukan studi banding dengan negara lain yang telah eksis memiliki jaringan kereta bawah tanah. Hal ini dilakukan PT MRT Jakarta demi memberikan yang terbaik bagi masyarakat dalam mendukung sistem transportasi massal di Jakarta masa depan.
Baca juga: Dengan Regulasi Terpadu, MRT Jakarta Mampu Kurangi Subsidi Pemerintah
Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar mengatakan, ada tiga kota yang menjadi studi banding, yakni London, Hong Kong dan Shanghai. Ketiga kota ini memiliki jaringan kereta bawah tanah yang cukup sukses, baik itu sistem maupun pemanfaatan ruang bawah tanahnya.
Seperti di London yang membuka layanan kereta bawah tanahnya sejak 1863, pengembangan ruang bawah tanahnya mengacu pada kerangka pembangunanan lokal untuk memberikan strategi perencanaan tata ruang di kawasan Kensington dan Chelsea. Di London jenis pengembangan area bawah tanah selain terowongan, juga mencakup untuk transportasi dan jaringan utilitas, ada pula pengembangan komersial seperti kantor, ritel hingga area parkir bawah tanah.
Di London juga ruang bawah tanahnya dibuat dengan ornamen yang kental dengan kebudayaan, serta integrasi dengan perumahan, apartemen, taman dan ruang terbuka. “Dewan daerah mereka telah mengeluarkan dokumen perencanaan pengembangan bawah tanah dalam pembahasan mereka seperti fungsi, kenyamanan, keselamatan, antisipasi banjir, keberlanjutan lingkungan, gangguan hingga desain yang kesemunya telah diatur daalm payung regulasi,” ujar William yang ditemui KabarPenumpang.com di Balai Kota (6/12/2017) saat acara workshop PT MRT.
Sementara Hong Kong yang memanfaatkan ruang bawah tanahnya untuk MRT tak luput dari kajian PT MRT Jakarta. Sebab, jaringan pedestrian yang dimiliki Hong Kong sangat signifikan yakni jarigan stasiun Central Hong Kong dan stasiun Tsim Sha Tsui-Tsim Shui Tsui Timur dimana koneksi dibuat diantara stasiun untuk memfasilitasi pergantian moda dan meningkatkan konektivitas dengan bangunan sekitarnya.
Dua jarigan bawah tanah di Hong Kong ini memiliki arus pejalan kaki yang diketahui cukup tinggi dengan rata-rata perharinya mencapai 120 ribu orang di stasiun Central-Hong Kong dan 170 ribu orang di stasiun Tsim Sha Tsui-Tsim Shui Tsui Timur. William mengatakan, dalam pembangunan bawah tanahnya, Hong Kong memiliki prinsip prioritas yakni pusat kota dibangun dengan sejumlah terowongan yang ada untuk pengembangan ruang bawah tanah.
“Zona terbuka dan zona jalur hijau lebih disarankan untuk pembangunan ruang bawah tanah di masa depan untuk menghindari perubahan guna atau akuisisi lahan. Menggabungkan kriteria geologi dan lingkungan untuk menidentifikasi plot lahan konstruksi terowongan serta kepemilikikan tanah menentukan dan memepelajari lebih rinci tanah pemerintah yang diprioritaskan saat ini sampai hak strata dan kriteria kedalaman dan untuk fasilitas Not In MyBack Yard,” jelas William.
William menambahkan, untuk kota Shanghai sendiri, adalah kota terpadat di Cina yang mengalami kekurangan ruang kota. Apalagi dengan ruang bawah tanahnya lebih banyak bebatuan dan membuat pembangunannya terbilang ekspansif meskipun dengan banyak kendala.
Saat ini meskipun dalam pembangunannya banyak mengalami kendala, stasiun subway Peolple’s Square merupakan stasiun subway tersibuk di Cina dengan tiga jalur subway dan bus interchange. Ketiga kota ini memiliki kesibukannya masing-masing dengan standar pemanfaatan ruang bawah tanahnya. Jakarta yang sebentar lagi akan memiliki kereta bawah tanah, memiliki standar sendiri setelah membandingkan dengan ketiga kota tersebut.
“Kami akan menyediakan jalur pejalan kaki yang aman, nyaman dan mudah. Menciptakan dan menghubungkan berbagi ruang publik didalam serta sekitar jaringan pedestrian. Selain itu juga menyediakan jaringan komperhensif dan rute yang mudah diakses seluruh warga,” ujar William.
Baca juga: PT MRT Jakarta: Dibutuhkan Tiga Payung Hukum Untuk Pengembangan Ruang Bawah Tanah MRT
Dia menambahkan, MRT Jakarta menyedakan pintu masuk yang dapat diakses oleh publik dan mudah diidentifikasi ke jalur pejalan kaki yang berada diluar jalan namun terintegrasi dengan bangunan hingga menuju area publik.