Dalam mendukung konsep smart city, beberapa kota di negara maju telah mengadaptasi halte bus menjadi ‘tempat cerdas’ dalam model smart shelter. Disebut cerdas pasalnya halte bus ini tak biasa, di tempat orang menunggu bus ini sudah dilengkapi berbagai teknologi yang bisa membuat orang tidak bosan dan mengalami kejenuhan.
Baca juga: Internet of Things Tunjang Transportasi Berbasis Bus
KabarPenumpang.com melansir dari smartcitiesworld.net, di Amerika Serikat diperlukan dana yang cukup besar untuk membangun halte bus, berkisar US$2000 sampai US$15.000 dengan biaya perawatan dari US$500 sampai US$30.000 per tahunnya. Biaya ini pun biasanya tergantung ukuran, lokasi, tingkat vandalisme dan kualitas lingkungan tempat tinggal.
Untungnya biaya pemeliharan halte bus tak melulu ditanggung Pemerintah Kota, space pada halte dapat menjadi pemasukan pendapatan lewat iklan. Bahkan tak sekedar menyewakan space untuk iklan, sejak 15 tahun lalu, beberapa kota seperti Chicago dan lainya mulai mengalihkan pembangunan dan kepemilikan halte pada perusahaan periklanan.
Kini tren mulai berubah, masih dalam konteks bisnis, konsep smart shelter dimunculkan, yakni halte dilengkapi dukungan koneksi ultra broadband guna meningkatkan pengalaman pengguna jasa dan tentunya membuka peluang bisnis baru, baik di segmen advertising dan retail. Percobaan halte dengan koneksi ultra broadband baru-baru ini dilakukan di Auckland, Selandia baru oleh otoritas transportasi dan konsorsium ng Connect yang terdiri dari perusahaan-perusahaan ternama seperti Chorus, Downer, Nokia dan Solta.
Halte percobaan ini terdiri dari desain fisik baru, koneksinya mengandalkan Chorus broadband yang mengusung oleh teknologi Gigabit Passive Optical Network (GPON) dari Nokia, layanan router Nokia, layar sentuh interaktif dan teknologi lainnya yang dikembangkan oleh Solta. Guna mendukung penerimaan smart shelter oleh warga, dilakukan survei yang dilakukan oleh Univerisity Auckland Techology (AUT) untuk menilai penerimaan dan pengalaman pengguna yang terkait dengan tempat penampungan baru yang lebih dari ini.
Dari hasil survei ternyata hanya dalam waktu singkat jumlah pengguna yang berinteraksi di halte begitu mengejutkan dengan mencoba berbagai jenis konten yang tersedia. Ini dilakukan tanpa instruksi atau pelatihan sebelumnya.
Baca juga: Barcelona Terapkan Internet of Things di Transportasi Publik
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengguna menganggap display interaktif berguna dan lebih banyak fitur yang dapat digunakan untuk mendukung model bisnis seperti ini. Tak hanya itu, kemampuan WiFi juga memiliki respon positif yang pesat dengan hampir 85 persen pengguna mengatakan ingin adanya koneksi WiFi di halte. Selain itu juga di pasang CCTV yang membuat penggunan nyaman dan aman serta 44 persen pengguna mengatakan mereka ingin dapat mentransfer informasi dari tampilan interaktif ke perangkat mobile untuk mempertimbangkan fitur dan model bisnis masa depan.
Secara bisnis, pemilik halte bus dapat menyewakan ruang pemasangan pra sertifikasi untuk sel kecil dan lalu lintas nirkabel offload menggunakan koneksi ultra-broadband. Pada saat yang sama, iklan dapat beralih dari iklan statis yang jarang berubah ke iklan dinamis yang berubah berdasarkan informasi kontekstual. Tanda-tanda interaktif dapat mengadopsi kemampuan seperti kios yang memungkinkan dinamika fitur untuk menghasilkan pendapatan. Sensor dapat dipasang dengan cara yang sama seperti sel kecil untuk memungkinkan koleksi, analisis, dan monetisasi data dengan memungkinkan akses ke pihak ketiga yang membayar.
Di Selandia Baru, ekosistem yang terlibat dalam percobaan ini mulai tertarik untuk mengeksplorasi kemampuan tambahan dan menguji model bisnis terkait untuk solusi tempat peristirahatan yang terhubung. Di masa depan, konsep ini akan diperluas lagi dalam kerangka multi modal untuk memasukkan bus, kereta api, kapal feri, dan moda transportasi lainnya.