Empat pesawat ATR 72-500 Pakistan International Airlines (PIA) dilaporkan ditarik lessor. Melirik ke kontrak, pesawat-pesawat tersebut sejatinya masih terus dipakai maskapai yang berbasis di Karachi, Pakistan, itu sampai 2021 mendatang. Tetapi, karena tak lagi mampu bayar sewa, leasing ABRIC pun menariknya.
Baca juga: FedEx Terima ATR 72 Khusus Kargo Pertama
Empat pesawat itu ialah AP-BKV, AP-BKX, AP-BKY, dan AP-BKZ. Menurut planespotters.net, sebagaimana dikutip Simple Flying, seluruh ATR tersebut bergabung ke PIA pada pertengahan 2015 setelah terbang dengan UTair-Ukraina. Keempat pesawat tersebut menghabiskan sebagian besar tahun 2020 dengan mendekam di bandara alias digrounded.
Dari keempat ATR di atas, salah satunya, AP-BKY, telah meninggalkan Pakistan. Alih-alih menuju ke Dublin, Irlandia (markas ABRIC), data dari software pelacakan pesawat menunjukkan pesawat telah mendarat di Johannesburg pada 14 Desember. Tak disebutkan dengan jelas keperluan pesawat itu di sana.
Dilansir Simple Flying, sekalipun ketidakmampuan sebuah perusahaan sudah umum, namun, badan investigasi kriminal, kontra-intelijen, dan Badan Investigasi Federal (FIA) tetap menyelidiki kasus gagal bayar PIA ke leasing.
Disebutkan, harga sewa untuk dua pesawat ATR PIA seharga US$1120 per hari atau US$34.000 per bulan. Adapun dua pesawat lainnya sedikit lebih murah dari itu. Bila diakumulasi dari perjanjian sewa pada 2015 lalu sampai 2020 ini, PIA setidaknya harus merogoh koceh sebesar US$43,7 juta, masih lebih kecil memang dibanding asset perusahaan sebesar US$668 juta.
Akan tetapi, PIA diketahui memiliki utang hampir US$3 miliar. Tentu, tambahan utang sekecil apapun semakin mendorong perusahaan ke jurang kebangkrutan.
Meski demikian, CEO PIA, Arshad Malik, mengaku maskapai sudah dalam jalur yang benar untuk mencetak keuntungan di masa mendatang.
“Kami mencoba untuk mengurangi kerugian PIA dengan kerjasama dengan sektor swasta. Kami menghadapi masalah karena pandemi virus Corona, tetapi PIA akan segera menggapai prestasi baru,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga mengungkap bahwa keputusan perusahaan membatalkan perjanjian sewa empat pesawat ATR sudah tepat dengan mengaktifkan klausul force majeure, yang menghancurkan bukan hanya PIA melainkan juga industri penerbangan global secara umum.
Di masa kritis seperti sekarang ini, PIA memang bak sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah diisukan bangkrut berdasarkan metode Z-score oleh seorang analis Bloomberg, pesawat Airbus A320 PIA mengalami kecelakaan dan merenggut 97 jiwa, terdiri dari 91 penumpang dan delapan awak, awal Juni lalu.
Usai kecelakaan itu, hasil investigasi menunjukkan, satu dari tiga pilot di Pakistan menggunakan lisensi palsu. Sadar perusahaan jadi sorotan, PIA bergerak cepat. Di akhir Juni, juru bicara PIA, Abdullah Hafeez Khan mengatakan bahwa penyelidikan pemerintah tahun lalu telah menemukan sekitar 150 dari 434 pilotnya mengantongi baik itu lisensi palsu atau mencurigakan.
Pada bulan Agustus, PIA akhirnya memecat sekitar 63 pilot karena berlisensi palsu dan memecat 54 pilot lainnya akibat berbagai masalah. Tak lama setelah itu, maskapai menyebut ada sekitar 15 pilot lagi yang lisensinya dibatalkan dan 14 lainnya tak layak terbang.
Akan tetapi, rupanya hal itu tak cukup mampu meyakinkan Eropa dan Uni Emirat Arab untuk mengizinkan pesawat mereka masuk. Padahal, Eropa, khususnya Perancis dan Inggris, merupakan rute gemuk PIA. Tentu larangan masuk pesawat PIA ke Eropa sangat memberatkan kinerja keuangan.