Banyak warisan cagar budaya pada bangunan di area kereta api masih terlihat sempurna bahkan masih digunakan hingga saat ini. Misalnya pada bangunan stasiun yang masih untuh dan juga dipergunakan untuk fasilitas penumpang yang hendak menggunakan kereta api. Atap-atap stasiun peninggalan jaman kolonial pun masih dilestarikan keasliannya, membuat kagum yang melihatnya.
Bentuk dan ukiran yang terpampang di dinding stasiun pun menandakan menjadi saksi bisu sejarah saat awal mula dibangun. Di kawasan Jabodetabek sendiri, keberagaman bangunan stasiun peninggalan kolonial tersebar dibeberapa stasiun, seperti: Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Jakarta Kota, dan Stasiun Bogor.
Namun sangat disayangkan, sebenarnya ada satu stasiun lagi menggunakan bangunan peninggalan kolonial yaitu Stasiun Rangkasbitung. Saat ini bagian atap Stasiun Rangkasbitung dalam tahap pembongkaran. Berbagai kritikan pun sempat masuk melalui media sosial tentang perombakan stasiun ini. Bahkan sejarawan dan budayawan, Teguh Setiawan pun mengomentari, “Jika alasannya adalah efesiensi dan bisa mengakomodasi jumlah penumpang yang ingin mengunakan kereta api, maka hendaknya jalur masuk dan jalur keluar diperbanyak dengan disertai jadwal keberangkatan kereta api yang padat”.
Banyaknya stasiun peninggalan Belanda saat ini menjadikan stasiun tak hanya dijadikan sebagai tempat untuk naik dan turun penumpang saja, melainkan sebagai destinasi sejarah. Seperti pada beberapa stasiun peninggalan Belanda bergaya artdeco berikut ini:
1. Stasiun Sukabumi
merupakan stasiun kereta api kelas II yang terletak di Gunungparang, Cikole, Sukabumi. Stasiun yang terletak pada ketinggian +584 meter ini adalah stasiun yang lokasinya paling selatan di Daerah Operasi I Jakarta dan merupakan satu-satunya stasiun kereta api yang berada di Kota Sukabumi dengan jarak 111,8 km arah tenggara dari Jakarta Kota.
Awalnya Perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscappij (NISM) telah berhasil membangun jalur kereta api Jakarta-Bogor pada 1873, pemerintah kolonial kemudian melanjutkan pembangunan jalur hingga sampai ke wilayah Priangan, Bandung, Sukabumi, dan Cianjur.
Stasiun ini dahulu memiliki lima jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus, tetapi kini tinggal jalur 1-3 yang masih aktif. Jalur 1 dan 2 biasanya digunakan untuk Kereta api Pangrango ataupun Kereta api Siliwangi, sedangkan jalur 3 adalah sepur simpan. Selain itu, stasiun ini dahulu mempunyai depo lokomotif dan turntable. Depo lokomotifnya sudah dibongkar dan kini hanya tersisa turntable saja meski saat ini sudah tidak digunakan lagi, karena lokomotif saat ini sudah menggunakan seri CC206.
2. Stasiun Padalarang
Stasiun ini dibangun bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api tahap ketiga yang menghubungkan Cianjur dan Bandung pada 1884. Dibangun dengan sentuhan art deco yang kental, bagian atap stasiun ini dibentuk sangat tinggi dan bertembok tebal. Keunikan lainnya yang dapat ditemui di stasiun ini adalah ditemukannya jendela-jendela besi dan brangkas.
Dibangun oleh perusahaan Staatspoorwagen, lokasi stasiun ini berada di Kota Cianjur dan dikelilingi oleh pertokoan dan pemukiman padat. Stasiun Padalarang saat ini telah menjadi stasiun pemberhentian kereta api cepat dan memiliki bangunan baru disebelahnya. Namun begitu bangunan lama stasiun ini masih terlihat jelas dan tidak dibongkar. Nilai cagar budayanya pun masih tetap dipertahankan.
Stasiun ini memiliki lima jalur kereta api. Pada awalnya, jalur 2 merupakan sepur lurus jalur ganda ke arah Bandung sekaligus sepur raya jalur tunggal dari dan ke arah Bogor, jalur 3 merupakan sepur lurus jalur ganda dari arah Bandung sekaligus sepur raya jalur tunggal dari dan ke arah Cikampek, serta jalur 5 yang dilengkapi fasilitas bongkar muat batu balas/kricak.
3. Stasiun Bogor
Stasiun Bogor ternyata menyimpan sejarah panjang perkeretaapian di Indonesia. Dibangun pada 1881, stasiun yang berada pada ketinggian 246 meter di atas permukaan laut ini tiap hari melayani ribuan penumpang commuter line dan juga KA Pangrango yang mengantarkan penumpang ke Kota Sukabumi.
Arsitektur bangunan utamanya menampilkan karakter khas gaya Indische Empire. Bentuk massa bangunannya simetris dan memberi penekanan pada bagian tengah sebagai pintu masuk serta lobby utama bergaya Neoklasik.
Pada bagian atas, atap pelana dengan pedimen segitiga serta gerbang lengkungnya menciptakan kesan anggun pada fasad depan bangunannya. Pada bagian belakang, terdapat dinding plesteran dengan ornamen garis-garis serta akhiran cornice di bagian atas berpola lekukan kecil.
4. Stasiun Solo Jebres
Solojebres merupakan stasiun kereta api yang terletak di Jalan Ledoksari No 1, Purwadiningratan, Jebres, Surakarta. Stasiun ini didirikan oleh Staatsspoorwegen di tahun 1884, yang kini menjadi stasiun heritage, bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan pemerintah.
Stasiun Solo Jebres dahulu merupakan stasiun besar yang menjadi pemberhentian semua kereta api ekonomi yang ada di Indonesia. Bangunan stasiun ini memiliki keunikan yang tidak dapat dijumpai di stasiun lain milik SS. Tampilan depan stasiun dahulu ditujukan kepada pihak Keraton Kasunanan Surakarta.
Secara garis besar, stasiun ini memiliki gaya Indische Empire, sama dengan stasiun SS lainnya yang dibangun pada tahun 1880–90-an, tetapi tampak depan bangunan utama stasiun kaya akan detail yang dipengaruhi dari gaya Neoklasik. Kesan art nouveau ditekankan pada banyak elemen, seperti jalusi, ornamen, serta terali di ventilasi yang berbentuk setengah lingkaran pada pintu keberangkatan. Cetakan berbentuk cornice terdapat pada pintu-pintu selain pintu keberangkatan yang memberi kesan megah pada bangunan.
Merasakan Nuansa Khas Vintage Stasiun Gundih di Jalur Penghubung Semarang-Solo