Diresmikan pada 17 Mei 1884, ide awal pembangunan Stasiun Bandung berkaitan dengan pembukaan perkebunan di Bandung sekitar tahun 1870. Peresmian stasiun tersebut seiring dengan pembukaan jalur kereta Batavia (Jakarta)-Bandung melalui Bogor dan Cianjur. Pada awal pengoperasiannya, Stasiun Bandung menjadi saksi bisu betapa suburnya tanah Priangan, karena pada awal pengoperasiannya, para tuan tanah perkebunan mengirimkan hasil panen mereka ke Jakarta menggunakan kereta.
Baca Juga: Lempuyangan, Sejarah Panjang Stasiun KA Ekonomi di Yogyakarta
Satu dekade berselang, tepatnya pada 1 November 1894, jalur kereta Bandung-Surabaya diresmikan dan nama Bumi Pasundan semakin masyur kala itu. Untuk mempercantik tampilan dari stasiun yang terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota Bandung ini, arsitek dari FJA Cousin memperluas bangunan lama stasiun pada tahun 1909 dan menghiasi bagian peron sebelah selatan dengan menggunakan kaca patri bergaya Art Deco.
Seak saat itu, makin banyak jalur yang tersedia di sini, sebut saja rute Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali yang dibangun pada 1918, lalu setahun berselang dibangun jalur Bandung-Citeureup-Majalaya, dan jalur Citeureup-Banjaran-Pengalengan yang dibangun pada 1921. Kebanyakan, semua rute tersebut digunakan untuk mengangkut hasil panen dari daerah pinggiran menuju kota. Adapun alasan lain pembangunan jalur kereta di Bandung adalah pemerintah Hindia Belanda yang kala itu berkuasa menilai jalan Raya Pos masih belum kompeten untuk memfasilitasi kendaraan pengangkut hasil perkebunan.
Stasiun dengan ketinggian +709 meter dari atas permukaan laut, yang kita lihat sekarang ini merupakan hasil rancangan seorang arsitek Belanda bernama EH de Roo pada tahun 1928. EH de Roo juga diketahui merupakan aktor dibalik megahnya Gedung Sate di Bandung, yang kala itu merupakan pusat pemerintahan Belanda. Dulunya, kereta api merupakan sarana transportasi utama pengangkut hasil perkebunan seperti kina, teh, kopi, dan karet. Maka tidak heran jika pertumbuhan ekonomi di kota berjuluk Paris van Java tersebut berkembang dengan sangat pesat.
Atas pencapaian tersebut, pemerintah kota menghadiahi kota Bandung sebuah penghargaan berupa monumen yang berada tepat di depan stasiun, yaitu di peron selatan (Jalan Stasiun Selatan). Kala itu, tugu tersebut diterangi oleh 1.000 lentera rancangan EH De Roo. Kini, monumen tersebut digantikan oleh replika lokomotif uap seri TC 1008 yang disimpan di bagian luar dari peron Selatan. Untuk masuk ke bagian dalam stasiun, Anda memiliki dua opsi, lewat jalur Utara atau Selatan. Jika Anda menemui sebuah replika lokomotif, dapat dipastikan Anda masuk melalui jalur Selatan.
Baca Juga: Jalur Stasiun Nambo Punya Pemandangan Yang Manjakan Mata
Kini Stasiun Bandung sudah berkembang, banyak toko yang menjajakan mulai dari oleh-oleh hingga makanan yang bisa Anda santap selama perjalanan. Bahkan, disediakan pula panggung mini yang biasanya digunakan oleh para musisi lokal unjuk gigi dan mencari rejeki. Dengan mempertahankan kekokohan arsitek jaman Belanda, stasiun dengan 10 jalur ini kini menjadi salah satu gerbang wisatawan lokal maupun mancanegara yang hendak berlibur di Kota Kembang.