Apakah Anda masih ingat dengan pernyataan Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang pada pertengahan tahun 2018 kemarin mengindikasikan bahwa Indonesia akan menghentikan impor pesawat Airbus dan beralih menggunakan Boeing? Ya, pernyataan ini merupakan reaksi pemerintah terhadap aksi sepihak yang dilakukan oleh Eropa yang menghambat ekspor biodiesel asal Indonesia. Namun dalam rentang waktu setahun, ada banyak kejadian terjadi dan belakangan ini, isu serupa kembali mencuat.
Baca Juga: Pilihan Pengadaan Pesawat, Mengapa Maskapai Pilih Airbus dan Boeing?
Adalah Menteri Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita yang kali ini menabuh genderang perang dengan Benua Biru. Masih bermuara pada akar permasalahan yang sama, kini opsi balas dendam pihak RI turut menyeret Bos Lion Air, Rusdi Kirana yang diketahui memiliki pesanan armada Airbus dalam jumlah yang cukup banyak.
Penerapan bea masuk untuk produk biodiesel asli Indonesia ke Benua Biru agaknya terlalu ‘mencekik’ dan hal ini membuat Menteri Enggertiasto menjadi geram. Diklaim, pihak Kementerian Perdagangan telah melayangkan surat keberatan ke World Trade Organization (WTO) terkait hal ini. Terlepas dari latar belakang ‘perang dingin’ ini, apakah sektor aviasi domestik mampu beroperasi tanpa armada berlabel Airbus?
KabarPenumpang.com mengutip dari laman simpleflying.com (25/8), total ada 219 pesanan unit Airbus dari tiga maskapai Tanah Air: 113 unit A320-200neo dan 65 unit A321-200neo milik Lion Air, dua unit A320neo dan 14 unit A330-900neo milik Garuda Indonesia, dan 25 unit A320neo milik Citilink.
Ketiga maskapai dalam negeri ini mempercayakan produksian Airbus untuk menyediakan pesawat narrow-body. Semisal benar skema serangan yang dilancarkan Pemerintah Indonesia ini akan berdampak pada penghentian impor produk Airbus, lalu jenis armada apa yang akan dioperasikan untuk mengakomodir pangsa pasar penerbangan narrow-body dalam negeri?
Pertanyaan ini semakin menguat pasca grounded massal dari Boeing 737 MAX yang dalam kasus ini menjadi rival apple-to-apple dari keempat varian pesawat Airbus di atas. Memang, pihak Boeing mengatakan bahwa varian 737 MAX akan kembali mengudara di tahun 2020. Tapi apa jadinya jika rencana tersebut meleset dan sialnya, Boeing 737 MAX tidak mendapat sertifikasi untuk kembali mengangkut penumpang?
Mungkin opsi lain jatuh pada penggunaan armada ‘black horse’ seperti Bombardier dan merk dagang ‘tier II’ lainnya. Namun agaknya hal tersebut terlalu berisiko mengingat kedigdayaan Boeing dan Airbus di sektor aviasi global sudah kadung mendarah daging dan sulit untuk diruntuhkan.
Belum lagi permasalahan teknis seperti suku cadang, biaya perawatan, hingga kecekatan teknisi lapangan dalam merawat dan memperbaiki armada selain Boeing dan Airbus. Sedikit banyaknya, ini juga menjadi pertimbangan yang harus dipikirkan matang-matang.
Bak Daud melawan Goliath, nampaknya dalam kasus ini pihak Indonesia sudah terlalu terburu-buru dalam mencetuskan pernyataan. Sebaliknya, mungkin efek penghentian impor dari Indonesia ini (mungkin) tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perusahaan – mengingat masih banyak maskapai di luar sana yang antre untuk mendapatkan armada dari perusahaan asal Uni Eropa ini.
Baca Juga: Tarung Keluarga Boeing 737 vs Keluarga Airbus A320, Siapa yang Akan Menang?
Agaknya hal ini tidak akan menjadi masalah yang terlalu berarti jika Airbus dan Boeing masih berada dalam posisi yang sejajar (sama-sama masih bersaing untuk mendistribusikan pesawat). Namun jatuhnya dua unit Boeing 737 MAX 8 yang dioperasikan oleh Lion Air dan Ethiopian Airlines menjadi pertanda bahwa pamor Boeing ‘menukik’ jauh meninggalkan Airbus.
Menurut Anda, apakah aksi sepihak Uni Eropa ini pantas diganjar dengan ‘hukuman’ penghentian impor Airbus?