Monday, November 25, 2024
HomeDaratSeakan Mati Suri, Akankah Era Perjalanan Backpacker Berakhir Karena Pandemi?

Seakan Mati Suri, Akankah Era Perjalanan Backpacker Berakhir Karena Pandemi?

Rasanya seperti tersambar petir bagi industri pariwisata dan transportasi ketika Covid-19 tiba-tiba menjadi pandemi di seluruh dunia dan menghentikan semua perjalanan. Dan itu juga dirasakan oleh hampir semua backpacker di seluru dunia. Di mana yang biasanya mereka bisa bepergian, kini hanya menggantungkan ransel entah sampai kapan.

Baca juga: Bandara Hong Kong dan Heathrow, Dua Bandara Besar yang Terpuruk Pandemi

Bahkan juga beberapa diantaranya sudah banyak yang gatal untuk bepergian dan menikmati liburan secara normal seperti sebelum pandemi. KabarPenumpang.com merangkum cnn.com (31/12/2020), liburan keliling dunia sudah ada berabad-abad yang lalu, dan baru pada tahun 1950-an dan 60-an backpaking benar-benar dimulai.

Saat itu, rute Eropa dan Asia Tenggara dikenal dengan jalur hippie yang terbukti populer dikalangan anak muda dengan anggaran terbatas dan ingin memperluas wawasan mereka. Meski sudah berkembang selama bertahun-tahun, backpacking cenderung berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tinggal di hostel mengambil pekerjaan di sana sini serta terikat dengan sesama pelancong lannya.

Yang menarik dari backpacking, karena jenis perjalanan ini terjangkau. Para backpacker bisa tidur di asrama dengan harga yang murah dari hotel dan pertumbuhan maskapai penerbangan berbiaya hemat pun membuka banyak hal bagi mereka yang sebelumnya menganggap perjalanan tidak terjangkau secara finansial.

Tapi sayangnya ini semua harus berhenti sesaat seperti mati suri karena pandemi Covid-19 dan membuat maskapai penerbangan mengalami kerugian gabungan sebesar US$157 miliar pada tahun 2020 dan 2021. Menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional, penerbangan murah yang diandalkan oleh para backpacker ini bisa menjadi bagian dari masa lalu.

Pasalnya, meski sudah ada vaksin, tetapi di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris dan mungkin negara lainnya di dunia tetap meminta bukti tes PCR negatif saat keberangkatan atau kedatangan pelancong. Persyaratan ini pun bisa menjadi agak mahal bagi mereka yang berencana mengunjungi banyak tujuan di mana tes tidak disediakan secara gratis.

Nyatanya, pandemi ini membuat banyak backpacker benar-benar menahan diri. Apalagi pendapatan yang menurun dan tak kunjung jelas membuat mereka memilih di rumah dibandingkan untuk menghabiskan uang di jalanan.

KabarPenumpang.com menghubungi salah satu anggota backpacker di Indonesia. Ia mengaku akan bertahan beberapa tahun kedepan untuk tidak bepergian keluar negeri dan lebih memilih mengeksplore Indonesia.

Adiarta Pratama, backpacker asal Bali ini mengungkapkan, dirinya ada niatan untuk kembali berlibur dengan hemat. Namun kini berpikir kembali karena meski tiket murah, tetapi biaya PCR yang tinggi mengurungkan niatnya.

“Tiket sekarang murah, karena maskapai menurunkan harga. Tapi yang mahal itu biaya PCR nya. Kalau tiket cuma Rp90 ribu tapi biaya PCR ratusan sampai jutaan rupiah mending di rumah saja dan uangnya digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” kata pria yang akrab di panggil Tama ini.

Meski begitu, banyak negara yang menganggap tak adanya backpacker menguntungkan karena mereka dianggap merusak dan berperilaku buruk. Bahkan Stuart Nash, menteri pariwisata Selandia Baru menyarankan negara itu hanya membuka wisatawan dengan penghasilan tinggi.

Baca juga: Singapura Hadirkan Tur Virtual Untuk Mudahkan Pelancong

Ucapannya kemudian dianggap sebagai penghinaan langsung bagi para backpacker. Jenni Powell, ketua Backpacker Youth and Adventure Tourism Association, menekankan bahwa backpacker berkontribusi ke Selandia Baru dengan banyak cara yang berbeda dan positif.

 

 

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru