Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) se-Jawa dan Sumatera menolak rencana akuisisi 51 persen saham PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) oleh PT MRT Jakarta (Perseroda). SPKA berpandangan bahwa langkah tersebut hanya akan merugikan PT KCI secara bisnis dan moda transportasi perkeretaapian secara sistem yang notabene sudah mapan.
Baca juga: PT MRT Jakarta Canangkan Integrasi Ticketing dengan TransJakarta dan PT KCI
“SPKA berpendapat akuisisi tersebut justru berpotensi merusak sistem transportasi perkeretaapian yang sudah mapan, baik, dan terintegrasi dalam satu kesatuan sistem menjadikan terpecah hanya karena urusan kewenangan,” tulis SPKA dalam keterangan resmi yang diterima redaksi KabarPenumpang.com.
Sejalan dengan SPKA, pengamat transportasi, Djoko Setijowarno mengungkapkan bahwa langkah MRT yang ingin mengakuisisi KCI hanya untuk sebuah integrasi rasanya bias. Sebab, dahulu, saat sistem pelayanan masih buruk, tak ada pihak luar PT KAI yang peduli apalagi membenahi. Lantas, ketika saat ini pelayanan sudah bagus, aneh rasanya bila ada pihak lain di luar perusahaan yang ingin mengakuisisi KCI dengan dalih integrasi.
“Barang sudah bagus jadi rebutan. Ketika layanan tidak ada pihak luar PT KAI yang peduli apalagi membenahi. Yang ada hanya mencerca. Pada saat proses perbaikan juga sama, tidak banyak yang mendukung karena tidak yakin pelayanannya akan menjadi baik seperti sekarang,” jelasnya kepada KabarPenumpang.com melalui pesan singkat.
Lagi pula, jangkauan atau ekspansi operasional KCI yang sudah menjangkau Yogyakarta dan Solo juga akan menjadi masalah dikemudian hari, dalam hal ini terkait pemberian subsidi ke KCI daerah operasional Solo-Yogyakarta. Mau tidak mau DKI, sebagai pemilik MRT, akan memberikan subsidi juga ke dua Pemda itu untuk kelancaran operasional KCI; sesuatu yang tentu saja harus dikaji landasan hukumnya.
Djoko pun mengambil contoh kasus subsidi bus Trans Jabodetabek yang dipermasalahkan Badan Pengawan Keuangan (BPK). Menurutnya, jika itu saja jadi permasalahan, apalagi memberikan subsidi ke Yogyakarta dan Solo, tentu bisa menimbulkan masalah baru.
Sebelumnya, mendasar pada pasal 6 UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, SPKA berpendapat bahwa PT KCI (KAI Commuter) merupakan Perkeretaapian Nasional, karena melayani angkutan orang lebih dari satu provinsi, sehingga kewenangannya ada di Pemerintah Pusat dan Pemerintah telah membentuk BPTJ melalui Peraturan Presiden No. 103 Tahun 2015.
Dalam Perpres tersebut, tugas BPTJ adalah mengembangkan, mengelola dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di Jabodetabek dengan menerapkan tata kelola organisasi yang baik.
SPKA menegaskan berdasarkan Pasal 1 Perpres 83 tahun 2011 tentang Penugasan kepada PT KAI untuk menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan jalur Lingkar Jabodetabek, Pemerintah menugaskan kepada PT KAI untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana perkeretaapian Bandar Udara Soekarno-Hatta via Kota Tangerang; dan prasarana dan sarana perkeretaapian Jalur Lingkar (Circular Line) Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Dalam pelaksanaan penugasan PT KAI dapat bermitra dengan badan usaha lainnya dengan mengikuti kaidah-kaidah bisnis yang baik, dengan memperhatikan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : Per – 01 /Mbu/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.
Baca juga: Jelang Elektrifikasi Jalur Kereta Yogyakarta-Solo, PT KCI Kelola Pengoperasian KA Prameks
SPKA menyebutkan bahwa adanya akuisisi akan berpotensi merusak sistem transportasi perkeretaapian yang sudah mapan baik terintegrasi dalam satu kesatuan sistem menjadikan terpecah berpetak- petak hanya karena alasan kewenangan.
“Integrasi antarmoda bisa dilakukan tanpa perlu akuisisi,” terang Dewan Pengurus Pusat SPKA dalam keterangan rilisnya.