Belum lama ini, Lion Air Group, banyak dibicarakan di jejaring media sosial terkait layanan akal-akalan rapid test corona atau Covid-19 murah. Akalan-akalan yang dimaksud, maskapai pemegang market share penumpang udara terbesar di Indonesia ini sama sekali tidak melakukan pengecekan dan pengambilan darah. Hal itu pun sudah dibantah oleh perusahaan.
Baca juga: Heboh Pesan Berantai Lion dan Batik Air Tak Lakukan Physical Distancing, Kena Proxy War?
Seperti diketahui, maskapai besutan Rusdi Kirana itu sejak Senin, 29 Juni 2020 lalu mulai melayani rapid test Covid-19 kepada penumpang sebagai salah satu persyaratan menikmati layanan transportasi udara. Selain memudahkan penumpang, layanan rapid test ala Lion Air Group juga tergolong murah, hanya sebesar Rp95.000 dengan masa berlaku selama 14 hari. Padahal, harga asli alat rapid test disebut berkisar ratusan ribu.
Menurut sumber KabarPenumpang.com, alat rapid test Covid-19 yang kebanyakan beredar di Indonesia berasal dari Cina. Lain dari itu, alat rapid test Covid-19 juga berasal dari banyak negara, mulai dari Eropa, Korea, hingga Amerika Serikat (AS). Meskipun berbeda-beda, namun, harganya berkisar Rp150 – 200 ribu. Di sejumlah marketplace, bahkan harganya jauh di atas itu.
Harga tersebut pun baru harga asli alat rapid test Covid-19nya saja, belum termasuk harga layanan, mengingat, petugas yang terlibat dalam layanan tersebut harus dibekali dengan Alat Pelindung Diri (APD), berupa hazmat, hand sanitizer, masker, face shield, dan sepatu boots.
Face shield dan sepatu boots mungkin bisa saja dipakai berulang-ulang, namun tidak demikian dengan hazmat dan masker yang hanya bisa sekali pakai. Tentu, bila itu dimasukan ke dalam paket layanan, seharusnya harga layanan rapid test Covid-19 yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta tarifnya bisa lebih di atas harga alat rapid test itu sendiri.
Meskipun demikian, perbedaan harga tarif layanan rapid test Covid-19 belakangan sudah bisa diseragamkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI nomor HK.02.02/I/2875/2020 mengatur tarif maksimal layanan rapid test mandiri Rp150.000. Hal ini disebut untuk mempermudah masyarakat yang membutuhkan.
“Harga yang bervariasi untuk pemeriksaan rapid test menimbulkan kebingungan di masyarakat. Untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dalam masalah pemeriksaan rapid test antibodi agar masyarakat tidak merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan,” bunyi surat edaran tersebut.
Hanya saja, karena berupa SE atau surat edaran, hal ini tentu menjadi masalah baru, mengingat, dalam perspektif hukum, peraturan dengan dasar SE tidak berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, bila pun SE tersebut diberlakukan, besar kemungkinan pihak swasta yang menyediakan layanan rapid test Covid-19 masih mengikuti tarif semula, tidak mengikuti anjuran yang dikeluarkan Kemenkes.
Baca juga: Meski Beda Prosedur, Lufthansa dan Lion Air Hadirkan Layanan Rapid Test Covid-19
Terkait SE, polemik juga pernah terjadi di sektor layanan udara setelah terjadinya pelanggaran oleh Lion Air Group atas kebijakan masksimum 70 persen penumpang dari kapasitas kursi. Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menyebut, tidak diterapkannya physical distancing dalam penerbangan Lion Air Group terjadi akibat ketidakjelasan regulator, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Ketidakjelasan yang dimaksud adalah Surat Edaran (SE) Permenhub 41 tahun 2020.
“PM 41 itu PM Perhub rasa kesehatan. Jadi kalau dilanggar pantas karena PM-nya tidak jelas,” singkatnya kepada KabarPenumpang.com. Menurutnya, implementasi Permenhub 41 berupa SE hanya akan membuat keadaan makin keruh. Sebab, SE bukan merupakan produk hukum. Mengetahui SE bukan produk hukum, ia yang sempat merasakan langsung kondisi seperti itu, sampai tak bisa berbuat apa-apa dan memilih untuk mengganti pesawat ketimbang memprotes maskapai.