Belakangan ini makin marak penumpang pesawat yang sulit untuk diatasi perilakunya. Hal tersebut biasanya dipicu dari penumpang yang meminum alkoloh berlebih dari dosis yang dibolehkan oleh maskapai.
Baca juga: Gara-Gara Penumpang Mabuk, Pesawat Scoot TR7 Mendarat Darurat di Sydney
Namun faktor lainnya pun bisa menjadi perilaku buruk penumpang dalam penerbangan. Dari sebuah laporan IATA ( International Air Transport Association) pada 2017, ada satu insiden penumpang yang sulit dikendalikan untuk setiap 1053 penerbangan. Dalam rentang waktu sepuluh tahun dari 2007 hingga 2017 lebih dari 66 ribu insiden dilaporkan ke IATA.
KabarPenumpang.com merangkum aircraftinteriorsinternational.com (26/6/2019), ada delapan ganguan seperti menghisap rokok dalam penerbangan, mengonsumsi obat-obatan terlarang, konfrontasi verbal atau fisik, mengganggu kru, menolak untuk mengikuti instruksi, pelecehan seksual dan lainnya.
“Bagaimanapun, insiden juga akan sangat tidak menyenangkan dan kadang-kadang bahkan membuat trauma untuk penumpang lain. Secara alami, semua insiden berpotensi menyebabkan kerusakan pada maskapai. selain pengalihan dan penundaan begitu media dan terutama media sosial mengetahui insiden tersebut dan tiba-tiba 20 ribu orang me-retweet atau berbagi informasi di Facebook,” kata spesialis manajemen ancaman, Totti Karpela.
Adapun langkah yang bisa dilakukan awak kabin adalah yang pertama mengacu pada Protokol Montreal 2014 yang menyediakan pembaruan yurisdiksi untuk Konvensi Tokyo 1963. Sebagian besar dari Protokol 2014 membahas masalah-masalah yurisdiksi internasional dan multinasional untuk memastikan bahwa semua negara mampu menuntut para penumpang yang mengganggu dengan menggunakan pesawat terbang masuk. Ini juga memberikan kekuatan hukum tambahan untuk untuk pemimpin penerbangan untuk melakukan penahanan, dan membuat beberapa klarifikasi tentang jenis gangguan yang harus dianggap melanggar hukum.
Bahkan juru bicara FAA mengatakan, bila ada gangguan tergantung dari maskapai apakah akan melaporkan kepada pihaknya atau tidak. Jika merasa perlu untuk mengalihkan penerbangan, pilot in command dapat melakukan panggilan tersebut dan meminta bantuan penegak hukum jika perilaku penumpang cukup mengerikan.
Selain itu pencegahan bisa menjadi kunci sebelum tindakan dilakukan. Pedoman IATA tentang Pencegahan dan Manajemen Penumpang yang Tidak Direkomendasikan bahwa maskapai penerbangan, mengembangkan strategi pencegahan berdasarkan peningkatan kesadaran penumpang dan di antara semua karyawan tentang bagaimana maskapai penerbangan akan merespons tindakan yang mengganggu, penerapan kebijakan Zero Tolerance, dan jenisnya tanggapan dan konsekuensi dari perilaku yang tidak patuh.
“Pencegahan adalah langkah mitigasi paling efektif untuk insiden penumpang yang tidak dapat diatur dan dapat dipromosikan sebagai tanggung jawab karyawan di seluruh organisasi. Seringkali perilaku yang tidak teratur bukanlah hasil dari satu peristiwa, melainkan efek dari serangkaian peristiwa yang menumpuk. Tanda-tanda awal kemungkinan perilaku yang tidak teratur seringkali dapat diamati. Fokus kebijakan perusahaan harus pada tindakan pada tanda-tanda awal ini, daripada berurusan secara eksklusif dengan peristiwa yang meningkat,” kata IATA.
Untuk penanganan awal bila terjadi masalah di kabin yang dilakukan oleh penumpang, awak kabin bisa mengambil tindakan pertama. Jika penumpang melakukan sebuah ancaman, pastikan dirinya tetap duduk di kursi. Tetapi jika sudah mulai mengganggu awak kabin bisa meminta bantuan penumpang lainnya untuk mengamankan dengan memegang penumpang agar bisa memborgol atau mengikat.
Baca juga: Gara-Gara Vodka, Penumpang Mabuk Hina Awak Kabin dengan Sebutan “Pedofil”
Sedangkan indikasi penumpang mabuk, bila maskapai memiliki ketentuan banyaknya alkohol yang diminum seorang penumpang, maka batasi penumpang yang terlihat mulai mabuk. Tawarkan minuman non-alkohol atau pilihan lain, seperti makanan atau tidur, selama sisa penerbangan.