Mungkin sekarang namanya sudah tidaklah setenar dulu, namun cerita dari beliau sulitlah untuk dilupakan – terutama di kalangan astronot. Adalah Pratiwi Pujilestari Sudarmono, wanita asal Bandung, Jawa Barat yang hampir menjadi astronot wanita pertama asal Indonesia. Ya, wanita kelahiran 31 Juli 1952 ini merupakan seorang ilmuwan yang mendalami ilmu mikrobologi. Sekarang, ia menjabat sebagai profesor mikrobiologi di Universitas Indonesia.
Baca Juga: Wiweko Soepono – Bapak ‘Two-Men Cockpit’ yang Sarat Pengalaman di Dunia Dirgantara
Tahun 1977, Pratiwi menerima gelar Master pertamanya dari Universitas Indonesia. Tujuh tahun berselang, ia menerima gelar Ph.D dalam bidang Biologi Molekuler dari University of Osaka, Jepang. Sesaat setelah menerima gelar tersebut, Pratiwi memulai karir ilmiahnya untuk meneliti biologi molekuler Salmonella Typhi dan menyandang status sebagai penerima beasiswa World Health Organization (WHO).
Namun nasib berkata lain, karir pendidikan Pratiwi yang gemilang ternyata mendapat sorotan dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) untuk turut bergabung dalam misi Wahana Antariksa (Space Shuttle) STS-61-H. Di sini, Pratiwi berperan sebagai Spesialis Muatan dan mulai proses seleksi pada 30 September 1985. Tidak sendiri, adapun warga Indonesia lain bernama Taufik Akbar juga turut serta dalam misi ini – berperan sebagai cadangan dari Pratiwi.
Adapun tujuan dari misi STS-61-H yang direncanakan berlangsung selam 7 hari ini adalah untuk memboyong tiga satelit komersial (Skynet 4A, Palapa B3, dan Westar 6S) ke orbitnya. Misi ini sendiri rencananya dimulai pada 24 Juni 1986 dengan Kennedy LC-39A sebagai titik pemberangkatannya.
Dengan menggunakan pesawat ulang alik Columbia, Pratiwi beserta enam awak lainnya yang notabene berdomisili dari luar negeri sana siap untuk menjalani misi bersejarah ini. Sejumlah persiapan dan pelatihan telah dilakukan Pratiwi sembari menunggu hari H pemberangkatannya menembus lapisan atmosfer. Tidak main-main, kala itu Pratiwi dan Taufik menjalani pelatihan di Amerika.
28 Januari 1986 merupakan tanggal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Pratiwi. Pasalnya, di tanggal itu, pesawat Challenger yang memboyong misi STS-51-L meledak di ketinggian 15-16km, tepat 73 detik setelah pesawat nahas ini meninggalkan bumi. Meledaknya pesawat ulang alik ini disinyalir karena adanya kegagalan O-ring pada roket pendorong yang disebabkan oleh temperatur ekstrem, -8 derajat celcius.
Baca Juga: Setia N. Milatia Moemin – Ketika Tantangan Pekerjaan Menjadi Media Memperkaya Wawasan
Lantaran musibah pesawat Challenger ini, akhirnya NASA membatalkan misi STS-61-H seraya Pratiwi menguburkan asanya sebagai astronot pertama dari Indonesia. Selang beberapa tahun pasca kejadian tersebut, Pratiwi dan sejumlah awak lain tidak mendapat kedua untuk menjalankan misi karena satu dua hal.
Kegagalan Pratiwi mengorbit memang meninggalkan luka yang cukup mendalam. Alih-alih patah semangat, ia lalu bangkit dan kembali berkutat dengan bidang yang selama ini ia tekuni. Hingga pada tahun 1994, ia didaulat untuk menjadi Ketua Departemen Mikrobiologi Fakultas Medis Universitas Indonesia.
Ternyata Tuhan memiliki rencana lain yang di luar nalar manusia – termasuk Pratiwi yang ditakdirkan untuk mengabdi lebih lama lagi bersama Universitas Indonesia.