Bicara dunia kedirgantaraan Indonesia, banyak kalangan seketika langsung teringat dengan BJ Habibie, Presiden Indonesia ketiga sekaligus perancang pesawat N250, pesawat pertama di Asia yang berhasil terbang ferry flight jarak jauh ke Eropa untuk menjali serangakian promosi, termasuk mengikuti salah satu event kedirgantaraan ternama di dunia Paris Air Show tahun 1997.
Baca juga: Dari Bandung ke Paris, N250 Jadi Pesawat Buatan Asia Pertama yang Lakoni Ferry Flight Lintas Benua
N250, yang kala itu dipimpin langsung oleh pilot uji senior IPTN, Kolonel Pnb Chris Sukardjono, bersama lima orang lainnya, terdiri dari tiga teknisi dan dua penerbangan, berhasil terbang ferry flight sejauh lebih dari 13.500 km, Bandung-Paris, dengan selamat. Masyarakat Indonesia senang, dunia pun tercengang.
Padahal, jauh sebelum itu, pesawat buatan Indonesia (sebelum merdeka) lainnya, PK-KKH sudah lebih dahulu menggemparkan dunia. Menariknya, pesawat tersebut sama-sama lahir di Bandung dari tangan dingin seorang insinyur yang juga dekat dengan Anthony Fokker, Achmad bin Talim. Bedanya, N250 dirancang oleh BJ Habibie langsung, sedangkan PK-KKH dirancang oleh orang Belanda dan dibuat oleh orang Indonesia.
Dihimpun KabarPenumpang.com dari berbagai sumber, sejarah pesawat pertama Indonesia yang melanglang buana sampai ke Eropa dimulai saat pengusaha daging dan roti sekaligus anggota klub terbang LA (Luchtvaart Afdelingen), Khouw Khe Hien, berniat untuk membuat pesawat sendiri. Ia ingin ada pesawat pribadi yang mampu membantunya dalam mengontrol kerajaan bisnis miliknya.
Ide tersebut kemudian diceritakan ke rekannya sesama LA, L.W. Walraven. Walvaren bersama Kapten M.P. Pattist kemudian mulai merancang pesawat tersebut pada tahun 1934. Selesai dirancang, Achmad bin Talim pun, yang juga bagian dari LA, ditunjuk untuk menjadikan rancangan tersebut menjadi sebuah pesawat langsing dan aerodinamis serta bersayap tunggal (monoplane) dan rendah (low wing) itu.
Berbekal bakar dan pengalamannya saat ditempatkan oleh Anthony Fokker di bagian perbaikan pesawat, Achmad bersama beberapa temannya berhasil merampungkan pesawat berbadan kayu ini dalam tempo enam bulan, termasuk memasang kedua mesin Pobyo 90 TK. Dalam sebuah tulisan di Majalah Angkasa No.3 Desember 1990, ia mengaku tidak menemui kesulitan apapun dalam proses pembuatan karena bahan bakunya tersedia, seperti tripleks, plat, sekrup, kawat, dan sebagainya.
Pesawat yang rodanya tidak bisa dilipat (fixed landing gear) ini akhirnya resmi terbang perdana pada tanggal 4 Januari 1935. Bangga dengan pesawat asli Hindia Belanda buatan Bandung ini, Khouw Khe Hien sebagai insiator dan Walraven pun berniat mempromosikan pesawat tersebut ke Eropa dan melenggang ke Eropa, dengan rute Bandung-Cililitan-Amsterdam pada tanggal 9 September 1935.
Walraven berangkat ke Belanda dengan menggunakan pesawat dari maskapai penerbangan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij), sedangkan Walraven W-2 dengan nomor registrasi PK-KKH tersebut diterbangi oleh pilot LA, Letnan Kees Terluin dan Khow Khe Hien sebagai pilot kedua.
Setelah 18 hari, dari semula target penerbangan kurang dari 10 hari -mengingat adanya kendala mesin- Walvaren 2 PK-KKH akhirnya berhasil tiba di Bandara Schipol, Amsterdam pada tanggal 27 September 1935. Pesawat tersebut dikabarkan menerima sambutan cukup meriah. Sebab, saat itu, belum ada pesawat Asia yang terbang ferry flight cukup jauh ke Eropa.
Baca juga: Wiweko Soepono – Bapak ‘Two-Men Cockpit’ yang Sarat Pengalaman di Dunia Dirgantara
Belum lagi, pesawat yang hanya dilengkapi dengan jarum penunjuk kecepatan, altimeter, temperatur, kompas, dan penunjuk bahan bakar di kokpit ini, biaya pembuatan pesawat tersebut cukup murah, kurang lebih sekitar 5-6.000 gulden atau setara dua unit mobil sedan Buick.
Setelah kembali dari Amsterdam pada 12 November 1935, Walvaren 2 PK-KKH makin menggeliat dengan terbang jauh ke Cina. Namun, proyek pesawat buatan Bandung tersebut akhirnya harus sirna setelah perancang serta inisiatornya menemui ajal masing-masing sebelum Indonesia merdeka.