Peperang mungkin dipandang sebagai petaka dengan banyaknya korban yang berjatuhan, baik dari sipil maupun militer, serta kerusakan yang ditimbulkan. Namun, bila melihat dari sisi lain, mungkin peperangan tak selamanya menjadi petaka. Ambil contoh pada Perang Dunia I. Di balik sengitnya peperangan, rupanya telah mendorong ilmuan mengembangkan teknologi tertentu untuk mendukung kekuatan perang, salah satunya telepon nirkabel di kokpit.
Baca juga: Boeing 377 Stratocruiser, Pesawat dengan Kabin Bertekanan Pertama di Dunia
Seperti dikutip dari laman spectrum.ieee.org, saat itu, ilmuan lain sebetulnya sudah memantik adanya telepon nirkabel dengan penemuan berupa telegraf, telepon, dan pesawat terbang. Tantangannya adalah, bagaimana ketiga temuan tersebut disatukan menjadi komunikasi singkat lewat media telepon nirkabel, baik dari darat-ke-udara maupun dari udara-ke-darat dengan perantara antara mesin-ke-mesin.
Pasalnya, teknologi telepon nirkabel di kokpit saat Perang Dunia I menjadi penting mengingat fungsinya yang vital. Dengan teknologi tersebut, pilot-pilot pesawat pengintai dapat langsung memberikan informasi mengenai apapun yang mereka lihat begitu mereka berada beberapa meter di belakang garis musuh. Singkatnya, negara peserta perang manapun yang lebih dahulu berhasil mengembangkan teknologi tersebut, kemungkinan besar mereka adalah pemenangnya.
Pada tahun 1911, Letnan Satu Benjamin D. Foulois, pilot pesawat tunggal Angkatan Darat AS, terbang di sepanjang perbatasan Meksiko dan melaporkan ke stasiun-stasiun Signal Corps di darat dengan kode Morse. Tiga tahun kemudian, di bawah naungan British Royal Flying Corps (RFC), pilot Letnan Donald Lewis dan Baron James mencoba radiotelegraphy udara-ke-udara dengan terbang 16 kilometer secara terpisah dan berkomunikasi dengan kode Morse selama penerbangan.
Tidak butuh waktu lama bagi sistem nirkabel RFC untuk melihat tindakan nyata pertamanya. Inggris memasuki Perang Dunia I pada tanggal 4 Agustus 1914. Pada tanggal 6 September ketika terbang selama Pertempuran Marne yang pertama di Perancis, Lewis melihat jarak 50 km di garis musuh. Ia dengan segera mengirim pesan nirkabel untuk melaporkan apa yang dilihat dan pasukan Inggris-Perancis langsung momentum dari informasi itu.
Ini adalah pertama kalinya pesan nirkabel yang dikirim dari pesawat Inggris diterima dan ditindaklanjuti. Komandan tentara Inggris pun mendorong penggunaan teknologi nirkabel yang lebih luas dan menuntut lebih banyak peralatan serta pelatihan untuk kedua pilot dan dukungan darat.
Sejak saat itu, RFC, yang terbentuk pada tahun 1912 di bawah Kapten Herbert Musgrave, tumbuh dengan cepat. Awalnya, Musgrave ditugaskan menyelidiki daftar penyelidikan aktivitas terkait perang, seperti balon udara, layang-layang, fotografi, meteorologi, bom, senapan, dan komunikasi. Ia pun memutuskan untuk fokus pada yang terakhir, komunikasi. Pada awal perang, RFC mengambil alih Stasiun Marconi Eksperimental di Brooklands Aerodrome di Surrey, barat daya London.
Pada Oktober 1914, Inggris telah mengembangkan peta dengan referensi grid, yang berarti bahwa hanya dengan beberapa huruf dan angka, seperti “A5 B3,” seseorang dapat menunjukkan arah dan jarak. Bahkan dengan penyederhanaan itu, bagaimanapun, menggunakan radiotelegraphy masih rumit.
Kemudian, pada musim semi 1915, Charles Edmond Prince dari Perancis dikirim ke Brooklands untuk memimpin pengembangan sistem suara dua arah untuk pesawat. Pria keturunan aristokrat Perancis tersebut sebelumnya telah bekerja sebagai insinyur untuk Perusahaan Marconi sejak tahun 1907 bersama beberapa rekannya yang banyak di antaranya juga berasal dari Marconi. Dengan cepat, ia pun segera menjalankan sistem udara ke darat.
Sistem Prince sama sekali tidak seperti ponsel modern, atau bahkan tidak seperti telepon pada saat itu. Meskipun pilot dapat berbicara dengan stasiun darat, operator darat hanya dapat menjawab dalam kode Morse. Butuh satu tahun lagi untuk mengembangkan telepon nirkabel dari darat-ke-udara dan mesin-ke-mesin.
Baca juga: Perang Dunia 3 Nyaris Pecah! Begini Kesaksian Pilot Jet Tempur Uni Soviet Pada Tragedi KAL 007
Selama musim panas 1915, kelompok ilmuan Prince berhasil menguji komunikasi suara udara-ke-darat pertama menggunakan pemancar radio telepon pesawat. Tak lama kemudian, Kapten J.M. Furnival, salah satu asisten Prince, mendirikan Sekolah Pelatihan Nirkabel di Brooklands. Setiap minggu 36 pilot pesawat tempur melewati untuk mempelajari cara menggunakan peralatan nirkabel dan seni artikulasi yang tepat di udara. Sekolah juga melatih petugas cara merawat peralatan.
Pada akhir perang, Prince dan timnya telah mencapai transmisi suara nirkabel dari udara-ke-darat, darat-ke-udara, dan mesin-ke-mesin. Royal Air Force pun kala itu telah melengkapi 600 pesawat dengan radio suara gelombang kontinu dan menyiapkan 1.000 stasiun darat dengan 18.000 operator nirkabel. Ini sepertinya contoh yang jelas tentang bagaimana teknologi militer mendorong inovasi selama masa perang.