Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) pada tahun 2018 silam pernah memprediksi bahwa jumlah penumpang yang bepergian melalui udara akan mencapai 8,2 miliar pada tahun 2037. Sebelum Covid-19 mewabah, 40,3 juta penerbangan dijadwalkan lepas landas di seluruh dunia pada tahun 2020, meskipun pada akhirnya harus turun menjadi sekitar 23,1 juta dan diperkirakan akan tetap rendah di 2021.
Baca juga: Pasca Covid-19, Proses Perjalanan Udara Butuh Empat Jam Sebelum Terbang!
Diperkirakan, paling cepat, jumlah penumpang akan kembali ke titik itu pada 2024 mendatang, dimana penerbangan domestik akan lebih dahulu kembali normal dibanding penerbangan internasional.
Kondisi tersebut tentu saja memukul kinerja keuangan maskapai. Andai tak ada langkah strategis dari pemerintah di seluruh dunia, bukan tak mungkin akan ada banyak maskapai bangkrut.
Sampai akhir Desember 2020 lalu, laporan allplane.tv, sudah ada 30 maskapai bangkrut. Laporan CNBC International bahkan lebih besar, dimana 40 maskapai di seluruh dunia dinyatakan bangkrut. Angka itu pasti akan bertambah seiring ketidakjelasan masa depan penerbangan global.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) sendiri akhir Desember lalu memprediksi maskapai penerbangan global bakal merugi hingga US$157 miliar atau sekitar Rp2.219 triliun lebih (kurs Rp14.135) sepanjang 2020 dan 2021. Parahnya lagi, perkiraan itu ialah hitungan kasar dan bisa jadi jauh lebih buruk.
Oleh karenanya, IATA menyerukan ke pemerintah di seluruh dunia agar memberikan paket stimulus lanjutan ke maskapai penerbangan. Setidaknya maskapai membutuhkan sekitar US$77 miliar atau sekitar Rp1.133 triliun (kurs 14.700) uang tunai untuk membiayai operasional.
Senada dengan IATA, Airline Passenger Experience Association (APEX) juga menyerukan hal serupa. Bahkan, lebih besar. Menurut asosiasi yang berdiri sejak 1979 tersebut, upaya penyelamatan maskapai dapat dicapai lewat kucuran dana senilai Rp3.805 triliun (kurs Rp 15.133).
Sambil terus berpangku tangan pada stimulus ekonomi dari pemerintah, maskapai di seluruh dunia tetap berharap penerbangan penumpang kembali pulih. Sebab, penerbangan kargo, yang selama pandemi virus Corona amat diandalkan, tidak cukup besar memberikan keuntungan.
Dalam sebuah tulisan di theaircurrent.com, Judson Rollins, pengamat penerbangan yang juga ahli ekonomi, beranggapan, sejauh ini, beberapa survei menunjukkan bahwa perjalanan penumpang memang sudah kembali menggeliat. Sebaliknya, perjalanan bisnis masih belum kembali. Terlebih, new normal mendorong mayoritas pertemuan bisnis via daring.
Singkatnya, maskapai yang berharap pada perjalanan bisnis dengan layanan mewah dan tiket selangit akan kian terpuruk, dan maskapai yang menargetkan traveller pemburu tiket murah minim layanan atau maskapai LCC akan diuntungkan. Dalam beberapa tahun mendatang, Judson memprediksi maskapai LCC (low-cost carrier) akan mendominasi langit di seluruh dunia dengan pertimbangan di atas.
Dikarenakan seluruh maskapai ingin terus bertahan dan menghindari kebangkrutan, otomatis, mereka akan menyesuaikan tren penumpang saat ini, dimana perjalanan wisata lebih diminati. Turunan dari itu, tiket murah jadi yang utama.
Dengan kata lain, bila maskapai besar yang selama ini menawarkan pengalaman terbang mewah dan tiket mahal, seperti Singapore Airlines, Emirates, Qatar Airways, dan sebagainya, maka mau tak mau jadi maskapai LCC. Itu berarti, selama semuanya belum kembali normal seperti sebelum pandemi virus Corona menyebar, semua maskapai di dunia adalah LCC. Setidaknya, itulah pandangan Judson Rollins.