Terbang di kelas ekonomi awalnya identik dengan pelayanan yang serba ngepass, namun ternyata sejak 1927, Pan American (Pan Am) telah memberikan fasilitas dan pelayanan di kelas ekonomi seperti di first class. Saat itu, Pan Am melawan pusaran arus yang dilakukan maskapai pada umumnya, yakni memberikan layanan mewah dengan harga lebih murah dari kompetitornya di segmen full service.
Baca juga: Neerja Bhanot – Mengenang Tameng Hidup Tragedi Pan Am Penerbangan 73
Dikutip dari cntraveler.com, ada banyak alasan mengapa Pan Am kerap disebut-sebut dalam buku-buku sejarah penerbangan, meskipun akhirnya harus bangkrut pada tahun 1991 lalu. Selain gaya jetnya dan akomodasi mewah kelas satu, Pan Am adalah salah satu maskapai penerbangan pertama yang membentuk kelas ekonomi modern dan membuka penerbangan internasional untuk pelancong di seluruh dunia – jauh sebelum maskapai berbiaya rendah saat ini ada. Tak heran bila di masa keemasannya, maskapai tersebut mnedominasi era Golden Age of travel atau masa keemasan bepergian.
Gebrakan awal Pan Am dalam mewujudkan mimpinya, mengantarkan para pelancong dari seluruh dunia kemanapun tempat yang mereka sukai dengan harga terjangkau, dimulai pada Mei 1945. Ketika itu, bepergian dengan pesawat kemanapun masih terbatas pada kalangan atas saja. Sebagai gambaran, perjalanan dari New York ke London dipatok seharga $711. Cukup mahal untuk ukuran saat itu.
Juan Trippe, pendiri Pan Am, pun datang bak pahlawan. Dengan niat baiknya untuk mengantarkan lebih banyak orang ke penjuru dunia, ia memberanikan diri untuk melanggar ketentuan harga yang diatur oleh International Air Transport Association (IATA). Caranya, ia memberikan harga murah untuk setiap rute-rute internasionalnya. Kala itu, tarif maskapai memang selama beberapa dekade diatur oleh organisasi tersebut.
Meskipun sempat dijegal oleh IATA, ia tak patah arang. Sambil dibarengi dengan promosi yang gencar, ia terus melakukan inovasi untuk membangun jaringan rute internasionalnya. Menurutnya, semakin banyak orang yang ingin bepergian, semakin banyak pundi-pundi rupiah yang bisa diraupnya.
Menyiasati animo luar biasa sambil terus mencari jalan keluar untuk menutupi biaya yang tinggi, Trippe memangkas ukuran kursi dan meningkatkan kapasitas tempat duduk sehingga rencana dapat membawa lebih banyak orang dengan harga lebih rendah dapat terwujud.
Pesawat standar Boeing 707, salah satu pesawat paling populer saat itu, misalnya, terbang dalam konfigurasi dengan dua kursi di satu sisi lorong dan tiga di sisi lain. Trippe pun menyulapnya menjadi formasi tiga kali tiga untuk membantu menurunkan biaya. Namun, tetap tidak mengurangi kenyamanan penumpang.
Di salah satu pesawat pertama Pan Am, pesawat DC-6B, leg room atau ruang kaki penumpang tercatat seluas 38 inci. Cukup luas dibandingkan dengan rata-rata maskapai penerbangan hari ini yang hanya sekitar 28 hingga 30 inci dari tempat duduk.
Selain berinovasi pada kapasitas dengan menambah kursi pesawat dan mematok harga murah, Pan Am juga berinovasi pada layanannya. Penumpang disajikan dengan menu dan makanan khusus yang disesuaikan dengan tujuan. Dengan kata lain, setiap rute memiliki menu khas yang berbeda-beda, sesuai dengan tujuannya.
Baca juga: Hari Ini 80 Tahun Lalu, Boeing 314 Pan Am Lakukan Penerbangan Berjadwal Perdana Trans-Atlantik
Penerbangan Pan Am 811 dari Los Angeles ke Sydney, misalnya, akan menyiapkan menu untuk setiap segmen perjalanan (Los Angeles-Honolulu-Auckland-Sydney). Makanan tidak disajikan dalam stirofoan atau sejenisnya, seperti sekarang ini. Pramugari akan menyiapkan piring di setiap hidangan, seperti restoran, dan menyerahkannya secara langsung ke setiap pelanggan. Kemudian makanan pembuka dan lauk didistribusikan dengan troli di lorong. Tidak ada di baki atau stirofoam yang tersedia. Pan Am menggunakan piring dan gelas khusus untuk semua hidangan kelas ekonomi. Cukup bahkan sangat mewah untuk ukuran kelas ekonomi bukan?
Setelah beberapa hampir tiga dekade sirna,beberapa maskapai berusaha menghidupkan kembali kejayaan dan kegembiraan serupa yang pernah diberikan Pan Am. Delta Air Lines Emirates, Qatar Airways, telah mencoba menghidupkannya kembali. Namun, seberapa besarpun mencoba, Talaat Captan, CEO and founder of Air Hollywood, studio film penerbangan terbesar di dunia, memprediksi, Pan Am tetap tak akan tergantikan.