Monday, November 25, 2024
HomeAnalisa AngkutanMengenang Kisah Gimli Glider, Pendaratan Darurat Pasca Pesawat Kehabisan Bahan Bakar di...

Mengenang Kisah Gimli Glider, Pendaratan Darurat Pasca Pesawat Kehabisan Bahan Bakar di Ketinggian 41 Ribu Kaki

Bicara terkait kisah heroik pilot mendaratkan pesawat dalam keadaan darurat, Kapten Chesley “Sully” Sullenberger dan kopilot Jeffery Skiles mungkin jadi yang termasyhur. Namun, jangan lupakan kapten Robin ‘Bob’ Pearson dan kopilot Maurice Quintal dalam peristiwa Gimli Glider, dimana pesawat Boeing 767 Air Canada kehabisan bahan bakar saat di ketinggian 41 ribu kaki (12.500 meter)

Baca juga: Satu Dasawarsa Pasca Kejadian, Survivor Tragedi “Miracle on the Hudson” Langsungkan Reuni

Sebagaimana peristiwa lainnya di dunia aviasi, kisah Gimli Glider sebetulnya bermula dari masalah kecil. Namun, karena masalah kecil itu terus berlangsung, berpadu dengan masalah lainnya, baik teknis maupun non teknis, Gimli Glider pun akhirnya tercatat dalam sejarah. Tak hanya, sang kapten pilot, yang semula mendapat sanksi keras dari perusahaan, justru dianugerahi Fédération Aéronautique Internationale (FAI) Diploma for Outstanding Airmanship untuk pertama kalinya.

Dilansir Simple Flying, pada 22 Juli 1983, pesawat Air Canada Boeing 767 dalam penerbangan dari Montreal ke Edmonton via Ottawa, Kanada, mengalami masalah.

Kapten Robert Pearson, 48 tahun, dengan pengalaman 15.000 jam terbang, dan kopilot Maurice Quintal, 36 tahun, dengan waktu terbang 7.000 jam, mendapati bahwa alarm tekanan bahan bakar rendah pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba berbunyi.

Ketika itu, pilot berasumsi bahwa bahan bakar masih banyak, merujuk pada indikator Flight Management Computer (FMC). Alarm pun dimatikan. Tak lama berselang, alarm yang sama kembali berbunyi dan kru pun memutuskan untuk mendarat di Winnipeg, berjarak sekitar 120 mil.

Saat pesawat mulai turun, mesin kiri mati, diikuti dengan ledakan pada mesin kanan. Alhasil, pesawat pun kehabisan bahan bakar di ketinggian 41 ribu kaki atau 12 kilometer dari permukaan tanah.

Habisnya bahan bakar ini terjadi saat pesawat sudah melakukan sekitar setengah perjalanan. Habisnya bahan bakar juga membuat semua mesin serta panel instrumen kokpit elektronik mati. Saat itu, Boeing 767-200 memang jadi salah pesawat jet pertama yang mengadopsi sistem instrumen penerbangan elektronik yang didukung oleh mesin. Praktis, ketika mesin mati, panel juga ikut mati.

http://https://www.youtube.com/watch?v=SjTz-OcECZc

Untungnya, turbin udara ram (RAT) cukup untuk memberi daya pada instrumen penerbangan darurat untuk mendukung proses pendaratan. Hanya saja, itu tidak termasuk vertical speed indicator yang menunjukkan kecepatan pesawat dan lokasi dimana pesawat harus mendarat.

Tak hanya itu, lokasi pendaratan di Gimli, Pangkalan Angkatan Udara bekas perang dunia yang sudah beralih fungsi jadi lokasi balapan mobil, berjarak 20 mil lebih dekat daripada Winnipeg, tengah diadakan balapan drag dan dipadati oleh banyak orang.

Minimnya informasi pendaratan -akibat panel instrumen kokpit mati- tak membuat Kapten Robert Pearson menyerah. Dengan pengalamannya menerbangkan glider (pesawat tanpa mesin) saat mengikuti pelatihan di angkatan bersenjata AS, Kapten Robert Pearson, mampu menerbangkan pesawat Air Canada di udara tanpa mesin.

Kapten Robert Pearseon, mampu mendaratkan pesawatnya di bekas markas angkatan udara Kanada di Gimli, Manitoba. Seluruh penumpang pesawat Air Canada yang berjumlah 69 orang berhasil selamat. Hanya sedikit dari mereka mengalami luka-luka ringan.

Sedangkan pesawat dengan nomor registrasi C-GAUN, yaitu Boeing 767 pertama Air Canada berusia empat bulan, sekaligus menjadi pesawat ke-47 yang dikirim dari fasilitas perakitan Boeing’s Everett.

Usut punya usut, peristiwa atau kisah Gimli Glider terjadi karena berbagai masalah, mulai dari masalah teknis, buruknya manajemen organisasi hingga menyebabkan lemahnya pengawasan, human error, dan sistem metrik.

Masalah bermula dari Sistem Indikasi Kuantitas Bahan Bakar (FQIS) pada pesawat tersebut, sehari sebelum penerbangan. Setelah dicek teknisi, masalah itu tuntas namun dengan catatan harus mengecek floatstick.

Baca juga: Akibat Kesalahan Sistem Alarm, Boeing 777 Air China Mendarat Darurat di Rusia Timur

Sayangnya, ketika pesawat berpindah tangan ke kru lain, baik teknisi maupun kru kokpit, terjadi kesalahpahaman pada instruksi tersebut. Masalah kemudian dilengkapi dengan sistem metrik.

Teknisi memberikan sejumlah catatan dalam bentuk pound / L sedangkan pesawat menggunakan kg / L. Alhasil, dari seharusnya pesawat mengisi 20.088 liter bahan bakar menjadi hanya di bawah 5.000 liter. Tak heran bila pada akhirnya pesawat kehabisan bahan bakar saat tengah mengudara.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru