Dalam sebuah tulisan sejarawan ternama dunia, Symons, yang dimuat blog scientificamerican.com, dikisahkan, saat Gunung Krakatau meletus selama dua hari pada Minggu-Senin, 26-26 Agustus 1883, hanya ada tiga kapal yang tengah berlayar antara Jawa dan Sumatera (Selat Sunda). Satu kapal milik angkatan laut Jerman, dan dua kapal lainnya berbendera Belanda, De Radarstoomboot Barouw dan Gouverneur Generaal Loudon.
Baca juga: Hari Ini, 137 Tahun Lalu, Letusan Gunung Krakatau Berkekuatan 13 Ribu Kali Bom Hiroshima Terjadi
Kapal-kapal tersebut punya kisah heroik masing-masing dalam menghadapi tsunami setinggi 30 meter efek dari reruntuhan Gunung Krakatau pasca meletus hebat. Di antara ketiga kapal itu, kapal uap Gouverneur Generaal Loudon mungkin jadi yang paling menarik dibahas.
Dikutip dari clydeships.co.uk, kapal tersebut tercatat keluaran tahun 1875 oleh perusahaan galangan kapal asal Greenock, Skotlandia, Caird & Company dan baru dirilis secara resmi pada 18 September di tahun yang sama. Kapal yang mampu memuat hingga 1,436 ton ini pertama kali dioperasikan oleh perusahaan kapal uap Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Stoomboot Maatschappij.
Nama kapal Gouverneur Generaal Loudon diambil disandarkan pada nama seorang politikus Belanda sekaligus Gubernur Hindia Belanda (1872-1875), James Loudon. Sampai di sini, sedikit ada beberapa pendapat, terkait penamaan. Ada yang menyebut kapal tersebut baru dinamakan Gouverneur Generaal Loudon setelah selamat dari terjaman tsunami di Selat Sunda dan sebaliknya, ada yang menyebut kapal sudah dinamai seperti itu sejak pertama kali diserahkan ke perusahaan kapal uap Belanda.
Cerita kapal Loudon menantang tsunami setinggi 30 meter dimulai saat kapal bergerak sekitar pukul 1 siang menuju Pelabuhan Anyer. Tak disebutkan dengan jelas dari mana kapal berangkat, namun, besar kemungkinan kapal berangkat dari Pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia.
Sekitar pukul 2 siang, Minggu, 26 Agustus 1883, terjadi letusan pertama Gunung Krakatau. Saat itu, abu vulkanik tampak jelas terlihat di atas Gunung Krakatau dan air laut mengalami pasang surut tak beraturan. Tak lama kemudian, dalam tulisan karya David Bressan, yang diunggah blog scientificamerican.com, langit sekeliling Anyer dan sekitar menjadi gelap.
Kapal dengan panjang 78 meter, lebar sembilan meter lebih, dan kedalaman palka mencapai lebih dari lima meter ini akhirnya bergegas menuju Telukbetung, Sumatera, 45 menit kemudian. Dalam perjalanan ke sana, kapal ditemani oleh hujan abu vulkanik yang lama kelamaan memenuhi geladak dan seisi kapal. Berkat kerjasama penumpang dan kru, abu vulkanik berhasil dibersihkan. Di Telukbetung, kapal bersandar cukup lama sampai pagi hari.
Di pagi hari, letusan kembali terjadi dan langit makin gelap. Kapal bergegas menuju Anyer untuk melaporkan apa yang terjadi. Dalam perjalanan itulah kapal diterjang tsunami setinggi 30 meter. Beruntung, di bawah komando Kapten T. H. Lindemann, kapal berhasil melewati tsunami dengan selamat.
Baca juga: Kapten Lindemann – Sang ‘Penantang’ Gelombang Tsunami Gunung Krakatau 1883
Saat itu, ajal kapal beserta kru dan penumpang (yang tak diketahu secara persis berapa totalnya) sudah cukup dekat, mengingat kapal sudah hampir terbalik dan hujan abu vulkanik memenuhi seisi kapal. Celakanya, kru dan penumpang tak bisa membersihkan kapal, mengingat mereka sedang disibukkan untuk menghadapi tsunami. Kru berada di ruang kemudi bersama kapten dan penumpang berada di palka kapal untuk menjaga kesimbangan.
Selanjutnya, kapal uap Loudon terus beroperasi sebagai angkutan kargo hingga tahun 1898. Di tahun tersebut, kapal Loudon dikabarkan terdampar di Laut Flores, tepatnya di sebelah Selatan lepas pantai Pulau Selayar. Tak diketahui secara pasti sebab hilangnya kapal. Tak hanya itu, dari data military.wikia.org, tanggal dan bulan terjadinya insiden tersebut juga tak diketahui, termasuk titik lokasi terakhir hilangnya kapal.