Bandara-bandara yang ada di seluruh negara di dunia, tak semuanya berstatus internasional. Jumlah bandara internasional tentu jauh lebih sedikit dibanding bandara nasional. Antara bandara internasional dan bandara nasional tentu terdapat banyak perbedaan. Namun, besar kemungkinan keduanya minimal mempunyai air traffic control (ATC) untuk mengatur traffic di bandara.
Baca juga: “Zero Mistake dan Tahan Tekanan,” Jadi Keharusan Bagi Petugas Menara ATC
Di luar keduanya, ATC rupanya tidak menjadi sebuah kewajiban. Karenanya, jumlah mereka jauh lebih banyak. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, jumlah bandara tanpa menara kontrol atau tanpa ATC jumlahnya ada sekitar 20 ribu, berpuluh-puluh kali lipat dibanding bandara dengan menara kontrol atau ATC yang hanya sekitar 500 bandara.
Dikutip dari aopa.org, bandara tanpa menara kontrol atau tanpa ATC sebetulnya memiliki prosedur operasi yang sama dengan bandara dengan menara kontrol atau ATC, baik lepas landas maupun pendaratan. Bedanya, bila ATC atau menara kontrol hadir langsung di bandara, maka, bandara tanpa ATC mengharuskan pilot untuk berkomunikasi dengan remote air traffic control unit atau unit kendali lalu lintas udara jarak jauh.
Sebagaimana namanya, unit tersebut tidak hadir langsung di sekitar bandara, melainkan berada jauh di pusat kontrol. Pusat kontrol ini bergantung pada masing-masing negara. Kalau di Indonesia, pusat kontrol jarak jauh yang dimaksud yakni Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI) atau biasa dikenal AirNav.
Layaknya ATC, unit tersebut akan memberikan clearance ke semua pesawat sebelum mulai lepas landas ataupun mendarat. Pola dan model komunikasinya pun juga sama, bisa melalui radio, telepon, atau melalui operator perusahaan serta melalui Flight Service Station setempat. Namun, turunan dari itu, di beberapa negara cenderung berbeda-beda. Ada yang menggunakan visual flight rules (VFR) dan ada pula yang mengadopsi instrument flight rules (IFR) sebagai syarat pilot mengoperasikan pesawat di bandara tanpa ATC.
Bandara tanpa ATC juga didukung oleh stasiun Universal Integrated Communication (UNICOM). Bersama pusat kontrol, UNICOM memegang peran vital dalam operasional bandara tanpa ATC. Stasiun komunikasi udara-darat tersebut akan memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan pilot, seperti cuaca, kondisi runway, traffic, dan berbagai informasi lainnya. Hanya saja, UNICOM tak diperkenankan memberi clearance ke pesawat. Wewenang itu hanya ada di remote air traffic control unit atau pusat kendali jarak jauh.
Ketika traffic di bandara sudah jauh meningkat, pola komunikasi seperti itu sudah tidak bisa lagi dilakukan. Selain tidak efisien dan efektif, juga membahayakan. Dalam kondisi tersebut, mau tak mau, fungsi pusat kontrol dan UNICOM harus disatukan dengan membangun menara kontrol atau ATC. Bila tidak, bahaya yang sudah mengintai bisa berubah jadi kecelakaan kapanpun.
Baca juga: “Air Navigation Charges,” Biaya Jasa Navigasi ATC Saat Pesawat Melintas di Suatu Negara
Sebagai contoh, pada tahun tahun 1996, United Express Flight 5925 bertabrakan dengan pesawat King Air akibat buruknya komunikasi dalam satu frekuensi yang sama, yakni Common Traffic Advisory Frequency di Bandara Quincy tanpa ATC di Illinois, AS. Sebetulnya, andai ATC tersedia di bandara ini, visibililtas petugas yang cukup baik di atas menara, di samping pergerakan pesawat di radar, rasanya mampu mencegah tabrakan terjadi. Entah dengan menunda proses pendaratan pesawat United Express Flight 5925 ataupun sebaliknya, menunda take off King Air.
Di dunia, bandara tanpa ATC atau menara pemandu lalu lintas udara ada di seluruh negara. Di Swedia, Bandara Pegunungan Skandinavia (Scandinavian Mountains Airport) yang baru adalah salah satunya. Di Indonesia, mayoritas bandara perintis seperti Bandara Kiwirok dan Bandara Oksibil tak mempunyai ATC. Khusus untuk timur Indonesia, umumnya, terdapat banyak bandara tanpa ATC di sana.
https://www.youtube.com/watch?v=JIMGTSaSpEc