Pada tahun 1970-an, 80-an, dan 90-an pesawat penumpang dengan tiga mesin atau tri-jet hampir seluruhnya menjadi armada utama seluruh maskapai di dunia. Bukan Boeing atau Airbus, kala itu, pabrikan pesawat lainnya dari Amerika Serikat (AS), McDonnell Douglas, hampir merajai pangsa pasar pesawat komersial penumpang di dunia lewat DC-10 dan MD-11.
Baca juga: Parade Pesawat Trijet yang Pernah Beroperasi di Indonesia, Anda Pernah Coba?
Pesawat-pesawat tersebut kala itu memiliki andil besar sebagai pesawat jet widebody jarak jauh untuk maskapai dunia seperti American Airlines, Swissair, Garuda Indonesia, dan maskapai lainnya.
Walaupun mulai memasuki masa kejayaan pada tahun 70-an, pesawat tri-jet komersial pertama kali muncul pada 1960-an keluaran Hawker Siddeley dan Boeing berwujud HS-121 Trident dan 727. Kedua pesawat itu dirancang untuk melayani rute jarak jauh dengan kapasitas yang lebih rendah dibanding penantang di tahun selanjutnya.
Akan tetapi, dilihat dari sejarah, sebetulnya, salah satu faktor kemunculan masa kejayaan tri-jet bukan karena kemampuan pesawat dibanding twin-jet atau quad-jet, melainkan karena aturan Extended-range Twin-engine Operational Performance Standards (ETOPS).
Simple Flying menyebut, ETOPS yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), saat itu mengatur bahwa pesawat twin-jet hanya diizinkan terbang separuh dari kemampuannya. Itu berarti, sekalipun memiliki dua mesin, ketika beroperasi pesawat hanya dihitung sebagai satu mesin.
Hal ini dilakukan agar ketika pesawat mengalami kegagalan mesin di salah satunya, pesawat tetap bisa terbang untuk melakukan pendaratan darurat dengan mesin lainnya. Rekomendasi itu kemudian disadur oleh regulator dunia, tak terkecuali regulator penerbangan sipil AS (FAA) dengan sebutan “60-minute rule”.
Dengan aturan tersebut, praktis, pergerakan pesawat-pesawat twin-jet sangat terbatas. Tak lebih dari rute domestik dengan jangkauan berkisar 60 menit perjalanan. Di saat itulah era tri-jet atau pesawat dengan tiga mesin dimulai. Saat itu, pesawat McDonnell Douglas DC-10 dan Lockheed L-1011 Tristar yang notabene memiliki tiga mesin menjadi primadona maskapai untuk mengantarkan penumpang ke belahan bumi lain atau jarak jauh.
Alasannya simpel, dilarang untuk menggunakan pesawat bermesin ganda untuk jarak jauh tetapi terlalu mahal ongkos operasional bila menerbangkan pesawat dengan empat mesin pada rute jarak jauh. Jadi, pilihan memang hanya jatuh pada pesawat tri-jet.
Perlahan tapi pasti, seiring perkembangan teknologi, ICAO mulai meningkatkan ambang batas ETOPS pada pesawat bermesin ganda menjadi 120 menit mulai tahun 1980-an hingga 180 menit di akhir dekade tersebut. Hal itupun pada akhirnya mendorong pengembangan pesawat twin-jet jarak jauh untuk mendapatkan efisiensi lebih dari yang ditawarkan tri-jet, baik efisiensi dalam segi operasional maupun perawatan dan produksi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi harga.
Baca juga: “Trump Shuttle,” Maskapai Milik Donald Trump yang Hanya Berusia 18 Bulan!
Saat itulah, Airbus dan Boeing memulai era duopoli di pasar widebody (juga narrowbody); ditandai dengan kebangkitan Airbus A310 dan Boeing 767, disusul Boeing 777 di kemudian hari sebagai pemilik gelar pesawat widebody bermesin ganda terpopuler dengan lebih dari 2 ribu pesanan. Singkat cerita, sepak terjang pesawat tri-jet bisa dikatakan miris dengan kemunculan didukung peraturan ETOPS dan berakhir juga karena aturan tersebut.
Akan tetapi, dengan mayoritas pesawat saat ini didominasi twin-jet dan quad-jet, berbagai pihak pun bertanya-tanya, akankan pesawat tri-jet benar-benar akan musnah dari dunia? Beberapa pihak menyebut hal tersebut mungkin tak akan terjadi. Paling tidak, tri-jet, sebagaimana quad-jet, akan tetap menjadi idola calon penumpang yang menginginkan keamanan lebih, dengan tambahan mesin menjadi tiga atau empat.