Belum lama ini, Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta (Soetta) mendadak viral akibat dipenuhi calon penumpang tanpa adanya protokol kesehatan. Dari beberapa foto yang beredar di media sosial, beberapa protokol kesehatan memang terang-terangan dilanggar calon penumpang, seperti tak memakai masker, physical distancing, atau tak mencuci tangan dengan segera setelah melakukan kontak dengan petugas check-in counter.
Baca juga: Pasca Covid-19, Proses Perjalanan Udara Butuh Empat Jam Sebelum Terbang!
Akan tetapi, foto atau video yang beredar di media sosial mungkin belum sepenuhnya menggambarkan perjuangan calon penumpang untuk bisa pergi ke tempat tujuan menggunakan pesawat. Sebab, dengan sederet peraturan, bepergian dengan menggunakan angkutan udara butuh perjuangan ekstra.
Dilihat KabarPenumpang.com dari sebuah Whatsapp grup (WAG), seorang penumpang yang tak ingin disebutkan namanya mencoba membeberkan pengalaman terbangnya ke Surabaya belum lama ini. Tidak dijelaskan lebih rinci alasan ia terbang, namun, disebutkan ia akan kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Mei mendatang, sebelum hasil rapid test miliknya expired.
Menurutnya, kalau bukan karena alasan sangat mendesak, seperti urusan bisnis atau mungkin pulang kampung, mustahil seseorang rela berjuang mati-matian untuk bisa pergi ke tempat tujuan menggunakan pesawat.
Dalam catatannya, sebelum mulai terbang, calon penumpang terlebih dahulu wajib mengikuti rapid test corona, yang setidaknya bisa merogoh kocek sebesar Rp300-400 ribu. Biaya yang sama mungkin akan kembali dikeluarkan calon penumpang jika ia kembali ke kota asal keberangkatan melewati batas hasil rapid test yang hanya berlaku selama sepekan. Belum lagi harga tiket yang dinilainya melambung nyaris dua kali lipat. CGK-SUB dalam kondisi normal berkisar Rp400 ribuan dan saat ini harganya mencapai Rp900 ribu.
Perjuangan calon penumpang untuk bepergian dengan pesawat saat ini tak berhenti sampai di situ. Selain perjuangan finansial, calon penumpang juga berjuang dengan tenaga. Pasalnya, di samping harus mengurus surat dinas (dari sebuah instansi atau sejenisnya) untuk bisa terbang, calon penumpang juga wajib hadir setidaknya empat jam sebelum jadwal terbang. Itupun masih ada kemungkinan terlambat.
Sebab, selama empat jam tersebut, tiga jam di antaranya kemungkinan besar akan dihabiskan calon penumpang untuk mengikuti screening. Proses inilah yang dinilai sebagai biang keladi keterlambatan penumpang plus menguras stamina di tengah kondisi puasa Ramadhan karena harus berdiri berjam-jam. Proses ini juga dinilai sebagai salah satu fase yang dapat membahayakan kesehatan penumpang, karena tak sesuai protokol kesehatan (menjaga jarak sosial). Dengan fakta tersebut, tak jarang, calon penumpang harus menyerobot antrean mengingat jadwal terbang tak bisa ditolelir maskapai.
Pengalamannya kemarin, bahkan ia harus menyerobot sekitar 15 antrean karena jadwal terbang sudah tinggal 30 menit. Padahal, 30 menit sebelum terbang seharusnya ia sudah melewati boarding gate dan menunggu keberangkatan. Namun kala itu ia masih belum mendapat surat clearance. Setelah dapat, terpaksa ia harus berlarian semata untuk mengejar penerbangan. Beruntung ia tak sampai telat.
Ketika sampai di bandara tujuan pun, bila melanjutkan perjalanan menggunakan bus, sepertinya bukan pilihan tepat. Sebab, bus dipenuhi penumpang dan tak ada physical distancing atau mengosongkan satu bangku untuk menjaga jarak sosial satu sama lain. Jadi, dengan berbagai kesulitan tersebut, calon penumpang memang bukan hanya harus menyiapkan kocek berlebih untuk mengurus berbagai persyaratan, namun juga kudu siap mati-matian untuk bisa terbang.
Sebagaimana yang sudah umum diketahui, Pemerintah Indonesia memang telah membuka kembali penerbangan komersial sejak 7 Mei lalu. Namun dengan berbagai peraturan penerbangan ketat selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seperti harus melalui gate tertentu, menunjukkan berkas kelengkapan perjalanan seperti misalnya tiket penerbangan, identitas diri, surat keterangan bebas Covid-19, surat keterangan perjalanan, dan berkas lain, mengisi kartu kewaspadaan kesehatan (Health Alert Card/HAC) dan formulir penyelidikan epidemiologi yang diberikan personel KKP, serta sederet prosedur lainnya.