Lesotho, sebuah negara berbentuk kerajaan di bagian Selatan Benua Afrika ini, dijamin belum banyak yang mendengar. Negara bekas jajaran Inggris ini menjadi salah satu negara di dunia yang tak mempunyai batas laut. Sebab, Lesotho seluruhnya diapit oleh Afrika Selatan, dengan 80 persen topografi wilayahnya terletak di ketinggian melebihi 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Baca juga: Courchevel, Bandara Ekstrem di Adegan James Bond “Tomorrow Never Dies”
Dengan kondisi topografi mayoritas berada di ketinggian, Lesotho rupaya banyak dikenal di kalangan pilot dunia karena memiliki salah satu bandara terkestrem di dunia, yakni Matekane Air Strip. Betapa tidak, bandara yang berada di ketinggian 2,299 mdpl ini memiliki dua indikator utama yang membuatnya pantas menyandang gelar tersebut (bandara terekstrem di dunia).
Dikutip dari berbagai sumber, dua indikator itu berupa kepemilikan runway terpendek di dunia (hanya 396 meter) dan ujung runway menuju jurang sedalam 600 meter. Jadi, bila sedikit saja pilot melakukan kesalahan, bukan tak mungkin pendaratan akan berujung maut.
Selain itu, indikator lainnya yang membuat Matekane Air Strip pantas menyandang gelar bandara terekstrem di dunia termasuk dikelilingi pegunungan yang menjulang tinggi, cuaca yang kerap berubah dengan cepat, hembusan kencang angin Selatan, serta minimnya infrastruktur keselataman dan keamanan pendaratan.
Dari dua indikator tersebut, setidaknya Matekane Air Strip bisa head to head dengan dua bandara lainnya dalam mengukur seberapa ekstrem bandara itu. Pertama dengan Bandara Juancho E. Yrausquin dan kedua dengan Bandara Courchevel. Dari sisi runway, Matekane Air Strip memiliki runway lebih pendek dari Bandara Juancho E. Yrausquin yang memiliki 400 meter. Lagipula, bila pilot gagal melakukan pendaratan dengan sempurna, pesawat hanya akan jatuh ke laut, masih tergolong aman dibanding jurang sedalam 600 meter.
Adapun dengan Bandara Courchevel, dari sisi ketinggian dan topografi, bandara itu juga memiliki kemiripan dengan Matekane Air Strip, dengan memiliki ketinggian di atas 2.000 meter, dikelilingi pegunungan, dan ujung runway menuju jurang. Hanya saja, Courchevel memiliki runway lebih panjang ketimbang Matekane Air Strip, yakni sepanjang 537 meter. Jadi bisa disebut tak lebih ekstrem.
Matekane Air Strip sendiri, usut punya usut, merupakan bandara milik Matekane Group of Companies suatu perusahaan yang bergerak di bidang kemanusian dan kedokteran di Lesotho. Bandaranya memang khusus bagi para relawan dan dokter-dokter dari seluruh dunia yang mau membantu masyarakat Lesotho. Bandaranya bukan merupakan bandara komersil.
Hal itu memang cukup relevan, mengingat negara yang beribukota Maseru, di sebelah Utara Matekane Air Strip, 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan internasional, dengan pendapatan kurang dari Rp20 ribu per hari. Jadi, banyak aktivitas kemanusiaan di negara tersebut, khususnya wilayah di sekitar bandara.
Matekane Air Strip diperkirakan masuk dalam distrik Mafeteng. Jangan membayangkan gedung mewah, sebab bandaranya hanya berupa landasan pacu saja. Belum lagi, akses menuju bandaranya cukup sulit karena ada di atas tebing di kawasan terpencil.
Baca juga: Juancho E. Yrausquin Airport, Bandara Terkecil dengan Runway Terpendek di Dunia
Traveler yang penasaran, bisa memesan penerbangan ke sana melalui situs Matekane Group of Companies. Baru-baru ini, perusahaanya membuka rute penerbangan dengan pesawat perintis CRJ200 ke Bandara Moshoeshoe I di Maseru, ibukota Lesotho. Ya, hanya pesawat perintis saja yang bisa mendarat di sana.
Pemandangan perbukitan hijau di sana memang terlihat cantik, yang membuktikan Lesotho pantas diberi julukan The Kingdom In The Sky. Berbeda dengan pilot, mendarat di sana bagaikan mimpi buruk.