Bandara Jenderal Besar (JB) Soedirman di Kabupaten Purbalingga jadi sorotan. Hal itu terjadi usai Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, membeberkan kondisi terkini tentang bandara tersebut. Disebutnya, bandara yang baru beroperasi pada 1 Juni lalu itu sudah tak ada penerbangan lagi, mengingat Citilink, satu-satunya maskapai yang terbang ke sana, sementara waktu membekukan penerbangan karena sepi.
Baca juga: Dongkrak Perekonomian Wilayah Purbalingga, Bandara JB Soedirman Siap Beroperasi di 2019
“Saya mau book minggu depan ternyata sudah tidak ada penerbangan. Saat saya konfirmasi ke Citilink memang stop terbang. Semoga nasibnya tidak seperti Bandara Kertajati,” tulisnya pada postingan Facebook, Senin (25/10).
Sindiran pengamat yang juga mantan ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini agar tak senasib dengan Bandara Kertajati memang bukan isapan jempol.
Sebab, geliat wilayah di sekitar Bandara JB Soedirman, seperti Banjarnegara, Kebumen, Banyumas, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Tegal, dan Wonosobo, memang tak sebesar wilayah-wilayah seperti Bali, Surabaya, Jakarta, dan sebagainya. Itu pula yang terjadi pada Bandara Internasional Kertajati Jawa Barat (BIJB) hingga menjadikannya mangkrak dan dimanfaatkan jadi bengkel pesawat.
Terlepas dari polemik dan masa depan Bandara JB Soedirman akan senasib dengan Bandara Kertajati atau tidak, yang pasti, Bandara JB Soedirman merupakan bandara besar di masanya. Bandara ini bahkan pernah menjadi saksi sejarah atas upaya diplomasi Indonesia untuk memperoleh kedaulatan internasional usai Agresi Militer Belanda I dan II.
Dilansir dari laman resmi TNI AU, Bandara JB Soedirman, yang sebelumnya bernama Pangkalan TNI AU Wirasaba atau Lanud Wirasaba, dibangun pada tahun 1938 oleh Belanda. Ketika dibangun, lokasinya memang strategis untuk pertahanan militer udara utama di wilayah Karesidenan Banyuman, bukan untuk transportasi udara sebagaimana Bandara Kemayoran pada masa itu.
Tahun 1942-1945, Lanud dikuasai oleh Jepang. Tahun 1945-1947, dengan bertekuk lututnya Jepang, Pangkalan Udara Wirasaba dikuasai oleh pemerintah RI (TNI AU) dengan Komandan yang pertama adalah Sersan Mayor Udara Soewarno.
Di masa tahun 1947-1950, setelah Jepang bertekuk lutut, maka Belanda kembali akan merebut RI. Dengan tidak adanya pasukan Pertahanan Pangkalan di Pangkalan Udara Wirasaba, maka dengan mudah pangkalan dikuasai Belanda.
Di masa inilah, Pangkalan Udara Wirasaba, yang diambil dari nama seorang pangeran yaitu Pangeran Wirasaba, Bupati Banyumas sekaligus pendiri Daerah Tingkat II Purbalingga yang sangat berkharisma, menjadi saksi upaya diplomasi Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Baca juga: Ketimbang ‘Sepi Merana,’ Bandara Kertajati Bakal Disulap Jadi Pusat Bengkel Pesawat
Dari foto-foto koleksi Nationaal Archief Belanda, disebutkan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku perwakilan Pemerintah Republik Indonesia bertemu dengan anggota Komisi Tiga Negara (KTN), Australia, Belgia, serta Amerika Serikat, untuk berdiplomasi mengenai pengakuan kedaulatan RI pasca perjanjian Renville.
Selain itu, Pangkalan Udara Wirasaba juga pernah mencatat sejarah penting lain, seperti kedatangan jurnalis internasional dari New York Herald Tribune, Dorothy Brandon, pada 1949, kunjungan Wakil Konsul/Diplomat Cina ke wilayah Karesidenan Banyumas pada 10 Oktober 1947, pengembalian seorang serdadu Inggris berkebangsaan India bernama Rambal Sheng, sampai kunjungan petinggi militer Belanda Jenderal de Waal pada 6 April 1948.