Kepala Kantor Staf Presiden RI Moeldoko menuding Pemda Sumatra Selatan memiliki peranan yang cukup besar di balik sepinya moda transportasi anyar di sana, Light Rapid Transit (LRT) Palembang. Menurut Moeldoko, tugas pemerintah pusat sudah selesai dengan membantu pembangunannya, selanjutnya tugas diemban oleh pemerintah daerah setempat – mulai dari pengoperasian, perawatan, dan lain sebagainya.
Baca Juga: MRT Malaysia Butuhkan 250.000 Penumpang per Hari Agar Bisa Tembus Break Even Point
“Dia (Pemda Sumatera Selatan) harus berupaya maksimal bagaimana utility sebuah infrastruktur itu bisa berdaya guna dengan baik. Bukan belum ada mengeluh, setelah dibangun mengeluh. Terus apa kerjaan mereka?” ujar Moeldoko seperti yang dikutip KabarPenumpang.com dari laman cnnindonesia.com (12/2/2019).
Ya, beredarnya kabar mengenai sepinya moda transportasi berbasis massal ini memang sudah cukup lama terdengar, tepatnya setelah perhelatan Asian Games 2018 selesai. Di hari-hari biasa (weekdays), moda ini bisa dibilang cukup sepi, berbanding terbalik jika kala weekend, dimana load factor (tingkat keterisian) LRT Palembang menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan ketimbang weekdays.
Padahal biaya investasi kereta cepat pertama Indonesia itu mencapai Rp10,9 triliun. Belum lagi menyoal subsidi operasional bulanan yang mencapai Rp10 miliar. Menurut Moeldoko, pemeliharaan infrastruktur oleh Pemda Sumatera Selatan sangatlah penting karena itu merupakan salah satu bentuk dari investasi jangka panjang.
“Maka perlunya Pemda memberikan sosialisasi sehingga infrastruktur yang ada bisa termanfaatkan dengan baik. Jangan saat PON dibangun infrastruktur, setelah itu tidak terjaga. Ini harus ada semangat pimpinan daerah,” tukas Moeldoko.
Terlepas dari faktor-faktor apa saja yang membuat LRT Palembang ini sepi, namun ini mirip dengan yang terjadi di negara tetangga, Malaysia. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, MRT Malaysia yang berada di bawah kendali Menteri Keuangan mencatatkan target 250.000 penumpang setiap harinya. Hal tersebut harus direngkuh guna mencapai break-even point – dimana MRT Malaysia juga diketahui memiliki load factor yang cukup rendah, di bawah ekspektasi yang diharapkan.
Per-pertengahan tahun 2018 silam, MRT Malaysia mencatat load factor mereka setiap harinya hanyalah berkisar antara 130.000 hingga 140.000 saja penumpang per harinya.
“Inshaa Allah (Dengan berkat Allah), kami akan mencapai tujuan kami untuk mendorong penggunaan transportasi umum, yang akan berimbas pada pengembalian modal (break-even point),” ujar Wakil Menteri Keuangan, Datuk Othman Aziz.
Baca Juga: LRT Palembang Sepi Penumpang, Kepala Divre III: “Itu Wajar”
Lalu, apa yang membuat load factor kedua moda transportasi berbasis massal ini rendah? Tentu saja ada banyak variabel yang bisa mempengaruhinya, mulai dari harga tiket yang mungkin terlalu mahal, pelayanan yang kurang prima (ketepatan waktu keberangkatan, bantuan dari petugas, dll.), kualitas dari moda yang kurang memuaskan penumpang, rute perjalanan yang tidak sesuai dengan tujuan penumpang, atau bisa juga dari kesadaran masyarakat untuk mulai beralih menggunakan moda transportasi umum.
Sebagai informasi tambahan, di bulan September 2018 kemarin, LRT Palembang hanya mengangkut sekira 4.000 penumpang setiap harinya (weekdays), dan jumlah tersebut meningkat ke angka 6.000 hingga 7.000 penumpang kala weekend.