Sebagai lembaga pemerintahan yang bertugas untuk mengusut masalah hingga memberikan beragam rekomendasi yang berkaitan dengan keselamatan transportasi, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menggelar pertemuan yang bertajuk “Capaian Kinerja Investigasi Keselamatan Transportasi Tahun 2017” guna membeberkan hasil kerja yang telah mereka lakukan selama setahun ke belakang.
Baca Juga: KNKT: Kereta Api Paling Minim Alami Kecelakaan di 2017
Selain itu, acara yang diadakan di Gedung KNKT, Jakarta Pusat, pada Kamis (18/1/2018) kemarin ini dimaknai sebagai salah satu bentuk tanggung jawab KNKT kepada khalayak ramai yang selama ini bertanya-tanya mengenai tugas yang mereka emban. Dalam acara yang dipimpin langsung oleh Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono, Kepala Sub Komite (Kasubkom) Penerbangan Capt. Nurcahyo Utomo, Dip. TSI membeberkan salah satu kasus menonjol yang pernah ia tangani bersama KNKT.
Tentu masih lekat di ingatan kita manakala maskapai Batik Air dengan nomor registrasi PK – LBS tujuan Makassar mengalami benturan dengan pesawat ATR 42-500 milik maskapai Trans Nusa di Bandara Halim Perdanakusuma, pada 4 April 2016 silam. “Ini merupakan salah satu kasus menonjol yang pernah kami tangani,” ungkap Capt. Nurcahyo pada kesempatan tersebut.

Kronologisnya, pesawat Boeing 737-800 milik Batik Air tengah bersiap untuk melakukan take-off di runway 24. Pada kesempatan yang sama, pesawat ATR 42-500 yang dalam kondisi kosong tengah digiring dari North Apron menuju South Apron dengan menggunakan towing car. Meskipun pengemudi towing car sudah berusaha untuk menjauh dari runway 24, namun tabrakan tetap tak terelakkan. Di sini, Capt. Nurcahyo menyebutkan ada tiga poin vokal yang menjadi penyebab utama kecelakaan yang tidak menelan korban jiwa maupun luka tersebut. “Komunikasi, tata pencahayaan dan kondisi lingkungan, serta hal yang terkait dengan regulasi,” tuturnya.
Kepada KabarPenumpang.com dan sejumlah awak media yang meliput acara tersebut, Capt. Nurcahyo menyebutkan ada faktor tambahan yang turut berperan serta melancarkan kecelakaan tersebut. “Ketika kami melakukan investigasi di menara pengawas (ATC), kami melihat kaca di sana memantulkan cahaya yang berasal dari dalam ruangan, ini tentu saja dapat mempengaruhi kinerja petugas di menara ATC,” ungkap Capt. Nurcahyo. Memang, dalam foto yang diperlihatkan, nampak dengan sangat jelas pantulan cahaya dari lampu yang berada di dalam ruangan menara ATC. Lalu sebenarnya, apa saja kriteria penggunaan kaca pada menara ATC yang memenuhi standar?
Dikutip dari Live Science, seorang petugas menara ATC sama sekali tidak boleh terdistraksi oleh pantulan cahaya yang bersumber dari manapun. Selain akan membuyarkan konsentrasi, pantulan tersebut juga akan membiaskan cahaya lain yang berasal dari sekitaran apron, runway, hingga taxiway.
Baca Juga: KNKT: Standar Karet Rem Indonesia Mengaju Pada Jerman
Itu pula yang menjadi landasan mengapa kaca yang berada di menara pengendali lalu lintas udara dibuat miring. Hal tersebut bertujuan agar setiap cahaya yang bersumber dari dalam ruangan, seperti lampu, komputer, dll, akan dipantulkan ke langit-langit ruangan (biasanya berwarna gelap, dengan tujuan untuk menyerap cahaya yang terpantulkan oleh kaca), dan tidak akan mengganggu kinerja dari petugas.
Jadi, sudah jelas kan mengapa KNKT bisa menyebutkan pantulan di kaca di ruang ATC sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kecelakaan tersebut terjadi?