Setelah mulai digarap pada tahun 2016 lalu, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) akhirnya dihentikan pada 2 Maret lalu. Banjir di Tol Jakarta-Cikampek jadi alasannya. Plt Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Danis Sumadilaga, menyebut tumpukan tanah bekas galian yang dibuang sembarang telah menutup saluran drainase dan menyebabkan terjadinya banjir.
Baca juga: Cina Bakal Punya Terowongan Kereta Cepat Pertama di Bawah Laut
Meskipun proyek kembali dilanjutkan pada Juni lalu, namun, bukan berarti berbagai masalah yang ditumbulkan sudah selesai. Dilansir dari eco-business.com, sejumlah masalah lain juga timbul sebagai dampak dari buruknya analisis dampak lingkungan (AMDAL). Selasa, 22 Oktober silam, ledakan pipa Pertamina terjadi di lokasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Setelah ditelusuri, ledakan tersebut disebabkan oleh proyek KCJB. Satu orang pekerja asal Cina dilaporkan tewas.
Tak cukup sampai di situ, berbagasi masalah lainnya, seperti pembuangan limbah ke sembarang tempat, kerusakan atau dinding rumah warga di sekitar proyek retak-retak, kebisingan, hilangnya ruang terbuka hijau, lahan pertanian produktif, tanah longsor, kesulitan air, masalah pembebasan lahan, hingga banjir di Bekasi dan Kabupaten Bandung yang diduga disebabkan oleh proyek tersebut, merupakan deretan masalah lain yang belum bisa terpecehkan.
Meiki Paendong, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, menyebut pihak PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebetulnya sudah berjanji akan melakukan kajian ulang terhadap berbagai dampak di atas. Hanya saja, sampai awal bulan ini, hasil pemeriksaannya belum dipublikasikan.
Anehnya, di tengah kekacauan tersebut, pada 29 Mei lalu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, mengungkap bahwa Presiden Jokowi mengusulkan pepanjangan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ke Surabaya. Jika September 2015 lalu pemerintah lebih memilih proposal Cina dalam proyek KCJB, perpanjangan proyek kereta cepat hingga Surabaya diputuskan untuk menggandeng kembali Jepang.
Menanggapi keputusan tersebut, Pemerintah Jepang mengaku bingung dengan kebijakan Indonesia. Berbagai media Jepang juga menyoroti kebingungan pemerintah oleh keputusan tersebut. Selain itu, menurut laporan Kyodo News, terkait persoalan seperti ini, biasanya Pemerintah Indonesia terlebih dahulu mengkomunikasikannya sebelum mengumumkan ke publik.
Di sisi lain, Jepang, melalui Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA), mengaku menyambut baik keputusan tersebut. Saat ini, pihaknya sudah memulai studi kelayakan terkait salah satu dari 89 proyek prioritas strategis nasional sepanjang 720 km (Jakarta-Surabaya) ini. Bila tak ada halangan, studi tersebut bakal selesai pada akhir 2020 mendatang.
Hanya saja, proyek tersebut nampaknya bakal menemui rintangan berat. Sebab, antara Kereta Cepat Jakarta-Bandung oleh Cina dan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya memiliki perbedaan dan sulit diintegrasikan.
“Pakar perkeretaapian mengatakan akan sulit untuk mengintegrasikan kedua proyek tersebut secara praktis karena lebar rel berbeda,” bunyi laporan dari Kyodo News.
Baca juga: Perancis Kirim Pasien Corona Antar Kota dengan Kereta Cepat
Kereta Cepat Jakarta-Surabaya diperkirakan akan melaju dengan kecepatan rata-rata 160 km -bisa dibilang kecepatan menengah- dan memangkas waktu tempuh Jakarta-Surabaya menjadi hanya 5,5 jam, dari semula hampir 11 jam. Berbeda dengan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, KCBJ diperkirakan bakal melesat hingga 350 km per jam, menempuh jarak sejauh 142,3 km dalam tempo 36 menit untuk perjalanan langsung, hingga 46 menit dengan kondisi perjalanan berhenti di setiap stasiun.
Awalnya, proyek senilai US$5,5 miliar itu oleh China Railway Group Limited (CREC) Indonesia direncakan bakal selesai dan bisa beroperasi pada Mei 2019. Namun, karena berbagai masalah, pemerintah merevisi target penyelesain hingga 2022 mendatang, mengingat proyek sudah over bugdet.