Pengamat penerbangan, Ridha Aditya Nugraha menyebut bila perspektif maskapai meminta relaksasi utang jatuh tempo adalah indikator ketidakmampuan, secara substansial bisa saja Garuda Indonesia dikatakan bangkrut.
Baca juga: Dirut Garuda Indonesia: “Tidak Ada PHK Massal di Tengah ‘Badai’ Virus Corona”
“Kalau dilihat dari perspektif restrukturasi, mungkin maskapai lainnya (bukan hanya Garuda) mereka mungkin bisa dikatakan bangkut. Tetapi, nyatanya mereka masih melayani penerbangan dan aset mereka tidak ada yang dikembalikan,” katanya, dalam webinar yang diselenggarakan Developing Countries Studies Center (DCSC) via Zoom bertemakan Industri Penerbangan: Ambruk Diterjang Pagebluk?, Selasa (5/5).
Pengamat penerbangan yang juga konsultan Aviation & Space Law tersebut menegaskan, dilihat dari kultur, bisa dibilang Garuda Indonesia tidak akan bangkrut. Pasalnya, kultur negara-negara di Asia masih melihat isu nasionalisme sebagai suatu hal mutlak, dalam hal ini menyangkut keberlangsungan hidup maskapai flag carrier. Berbeda dengan Eropa yang pada umumnya menyerahkan permasalahan maskapai ke market.
Sekalipun demikian, kultur tersebut pun saat ini juga tak selalu demikian. Alitalia, misalnya, flag carrier Italia tersebut menurutnya sudah berkali-kali nyaris bangkrut namun berkali-kali itu pula pemerintah turun tangan. Justru yang menjadi menarik, lanjut Ridha, adalah bagaimana pemerintah juga menyelamatkan maskapai swasta, khususnya low cost carrier (LCC).
Dalam kacamata Ridha, kehadiran LCC penting untuk mencegah duopoli (Garuda Indonesia Grup dan Lion Grup), yang berujung pada mahalnya harga tiket, kembali terulang. Kemudian, dilihat dari data, traveler millenials atau non perjalanan bisnis mayoritas membutuhkan maskapai LCC karena sesuai dengan kriteria mereka. Harga murah. Tak perlu banyak barang bawaan. Tak perlu makan atau sejenisnya di atas pesawat karena penerbangan hanya satu-dua jam.
Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk juga tetap mendukung keberlangsungan maskapai LCC swasta, selain flag carrier, untuk menjaga industri penerbangan agar tetap sehat. Bila tidak, ia khawatir duopoli akan kembali terjadi dan merugikan masyarakat serta ekosistem bisnis yang menyertainya, seperti hotel, travel agent, restoran, UMKM dan lain sebagainya. Sebab, dengan mahalnya tiket, masyarakat akan mencari moda transportasi lain atau menunda perjalanan liburan.
“Kalau Lion Air dan Garuda kembali mendominasi, bukan tidak mungkin tiket mahal sejak 2018 akan kembali terulang. Jangan sampai link, hub, atau suatu jaringan dikuasai mereka,” jelas pengamat penerbangan yang juga lulusan Leiden University tersebut.
Sebelumnya, dalam laporan keuangan Garuda Indonesia (GIAA) tahun 2019 tercatat memiliki utang obligasi dari penerbitan Trust Certificates yang tidak dijamin sebesar US$500 juta atau Rp7,75 triliun dengan asumsi kurs Rp15.500 per dollar AS.
Tercatat di Bursa Singapura, surat utang Garuda Indonesia ini dirilis 3 Juni dengan jangka waktu 5 tahun. Ini artinya pada 3 Juni nanti utang ini jatuh tempo. Sukuk ini memiliki tingkat suku bunga tetap tahunan sebesar 5,95 persen yang dibayar setiap 6 bulanan yang dimulai 3 Desember 2015 sampai dengan 3 Juni 2020
Menariknya, seorang konsultan penerbangan dari Centre for Aviation atau CAPA menyebut bahwa saat ini maskapai global, secara substansial, mungkin bisa dikatakan bangkrut karena kesulitan likuiditas atau telah melanggar perjanjian utang bila tidak ingin disebut bangkrut. Pasalnya, kemampuan perusahaan jauh di bawah tanggungan berupa utang, cicilan, dan gaji karyawan. Tak heran bila dalam kondisi tersebut, tak ada pilihan lain maskapai untuk menunda pembayaran dan pengembangan bisnis serta mencari pinjaman. Tak terkecuali dengan GIAA.
Baca juga: Kata Konsultan Penerbangan: Sebagian Besar Maskapai Global Akan Bangkrut Akhir Mei!
Perhitungan konsultan CAPA tersebut tentu bukan tanpa alasan. Pada awal Maret lalu, maskapai asal Inggris, FlyBe, dinyatakan bangkrut akibat tak mendapatkan suntikan dana segar dari pemerintah Inggris sebesar 100 juta poundsterling Rp1,8 triliun dan konsorsium pemilik perusahaan sebesar US#130 juta atau Rp1,8 triliun guna menstabilkan bisnisnya. Selain itu maskapai juga tercatat memiliki utang Rp320 miliar.
Bila FlyBe yang tak mendapatkan suntikan total modal sebesar Rp3,6 triliun serta memiliki utang sebesar Rp320 miliar saja bangkrut, lantas bagaimana dengan Garuda Indonesia bila tak berhasil mendapatkan utang baru untuk menutup utang lamanya yang notabene jauh lebih besar dibanding FlyBe?