Menurut Cirium, setidaknya ada 18 ribu pesawat di-grounded di seluruh dunia. Data tersebut pun diperkuat oleh FlightRadar24.com yang mencatat bahwa lalu lintas udara total pada bulan April turun 62 persen dan lalu lintas penerbangan komersial turun 73,7 persen dibanding periode yang sama di 2019 . Pada April 2020, hari tersibuk di langit terjadi pada tanggal 28, dengan 80.714 penerbangan. Namun tetap saja jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 17 April 2019 dengan 203.239 penerbangan.
Baca juga: Nasib Pilot Gegara Corona, Tetap Harus ‘Terbang’ Tanpa Dibayar
Dalam kondisi sulit, maskapai berusaha untuk tetap hidup dengan memaksimalkan penerbangan kargo. Bahkan, dengan sepinya penerbangan komersial dan guna memaksimalkan penerbangan dalam sekali jalan, era baru industri penerbangan global yang tak pernah terjadi sebelumnya pun dimulai; kabin penumpang disulap menjadi penuh kargo.
Tingginya penerbangan kargo, dengan mayoritas memuat kebutuhan pangan dan medis, belum lama ini sempat menjadikan Bandara Internasional Ted Stevens Anchorage (ANC), di Negara Bagian Alaska, Amerika Serikat (AS) menjadi bandara tersibuk di dunia pada 25 April lalu. Padahal, dalam kondisi normal, penerbangan penumpang ANC hanya melayani 5 juta penumpang per tahun, jauh dibanding Bandara Internasional Hartsfield-Jackson Atlanta, AS, yang notabene sebagai bandara tersibuk di dunia, dengan melayani 107 juta penumpang tahun 2018 lalu.
Bagi bandara, maskapai, operator air navigation, petugas ground handling, dan teknisi, ramainya penerbangan kabin penumpang dipenuhi kargo mungkin biasa saja, yang terpenting tetap ada penerbangan. Namun bagi pilot, kabin penumpang dipenuhi kargo mungkin hanya akan ‘menambah kerjaan’ yang sebetulnya mereka sudah cukup disibukkan dengan urusan di kokpit.
Dikutip dari thepointsguy.com, setidaknya ada dua hal yang membuat pilot sedikit direpotkan dengan penerbangan kabin penumpang dipenuhi kargo. Pertama, teknis pengecekan. Dengan penerbangan sepenuhnya kargo tanpa satupun penumpang, pramugari disebut tak banyak disertakan dalam setiap penerbangan. Itu artinya, mau tak mau, pilot harus bersiap untuk segala risiko, salah satunya kebakaran.
Selain itu, tugas pengecekan pun, yang biasa dilakukan pramugari, juga mau tak mau dihandle oleh pilot, mulai dari memeriksa komponen barang, seperti baterai lithium-ion yang tak boleh diletakkan dekat generator oksigen, atau bahan mudah terbakar lainnya yang diletakkan secara khusus dengan suhu yang wajib terjaga dengan baik. Kemudian, tata letak kargo juga tak boleh sembarang dan harus dipastikan tak banyak bergerak mengingat akan mempengaruhi keseimbangan pesawat, baik saat mulai lepas landas atau pun dalam kondisi lainnya yang memaksa pilot melakukan manuver hingga menyebabkan guncangan.
Tak cukup sampai di situ, pilot juga wajib mengetahui jenis barang apa saja yang dibawa, memastikan berbagai peralatan di pesawat non-aktif, seperti ovens, microwaves, brewers, IFE, dan berbagai sakelar lainnya yang dapat mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan.
Baca juga: Kargo di Kabin Penumpang Bikin Pramugari Beralih Fungsi Jadi ‘Petugas’ Pemadam Kebakaran
Kedua, dalam penerbangan jarak jauh tanpa adanya pramugari, otomatis, pilot harus melayani dirinya sendiri, seperti membuat kopi atau mendapatkan sedikit cemilan saat di udara. Hal itu tentu cukup merepotkan mengingat pilot yang sudah dibebani dengan prosedur normal penerbangan dan prosedur baru untuk penerbangan kabin penumpang dipenuhi kargo dengan sederet tugas dan tanggungjawab baru.
Akan tetapi, pada artikel sebelumnya, redaksi sebetulnya sudah sempat menyinggung terkait pro kontra keberadaan pramugari dalam penerbangan kabin penumpang dipenuhi kargo. Atas alasan keselamatan, seperti ancaman kebakaran, sebetulnya, pramugari diimbau untuk tetap ikut menyertai penerbangan tersebut. Jika demikian adanya, tentu pilot tidak jadi mendapat tugas baru atau double job. Namun, bila pada prakteknya maskapai lebih memilih tidak menyertai pramugari, pilot mau tak mau melakukan tugas dan tanggung jawab baru sebagaimana diungkat di atas.