Selain kerap menjadi sumber kemacetan di Ibukota dan beberapa kota besar lainnya, ternyata perlintasan sebidang pun tak jarang menjadi saksi bisu dari ratusan bahkan ribuan kecelakaan – baik yang menelan korban luka atau jiwa. Kendati erat dengan dunia perkeretaapian yang dinaungi oleh PT KAI, namun pada kenyataannya perlintasan sebidang merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah (Pemda) terkait.
Baca Juga: Jalur Perlintasan KA, Masih Jadi Momok Menakutkan
Saling lempar tanggung jawab semisal ada kasus kecelakaan di perlintasan sebidang pun tak pelak mewarnai pemberitaan di media. Bagi warga yang belum mengetahui tentang ‘keberpihakan’ perlintasan sebidang, tentu mereka akan memberondong PT KAI untuk meminta pertanggungjawaban. Belum lagi perlintasan liar yang minim akan penanda dan penjaga palang pintu kereta yang kasarnya kurang terlatih.
Di Indonesia sendiri, terdapat 4.635 perlintasan sebidang liar yang kebanyakan berada di daerah kabupaten dan pinggiran kota. Menurut Dirjen Keselamatan Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Edi Nursalam, banyaknya perlintasan sebidang dewasa ini merupakan peninggalan jaman Belanda dulu.
“Untuk kereta konvensional (kereta jarak jauh dan Commuter Line Jabodetabek) memang masih banyak ditemukan perlintasan sebidang. Sementara untuk kereta api modern seperti Light Rapid Transit (LRT) dan MRT itu sudah tidak ada lagi,” ujar Edi ketika ditemui KabarPenumpang.com pada acara KNKT Safety Review Forum di Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Sesuai dengan namanya, perlintasan sebidang liar memang dibangun sendiri oleh masyarakat untuk menghubungkan sati titik dengan titik lainnya yang terpisahkan oleh rel kereta api. “Ini tentu masalah buat kita karena perlintasan semacam itu dibangun tanpa izin (dari Kementerian Perhubungan). Jadi itu dibangun sendiri oleh masyarakat dan didukung oleh Pemda yang pada akhirnya, perlintasan sebidang liar tersebut semakin besar,” tandas Edi.
Karena faktor di atas inilah yang akhirnya melatarbelakangi tingginya angka perlintasan sebidang liar yang ada di Indonesia. Tanpa bermaksud menyudutkan salah satu pihak, namun di sini Edi menegaskan bahwa diperlukannya pengelolaan yang tepat dan memenuhi standar dalam ‘merawat’ perlintasan sebidang.
“Sebenarnya masalah utama dari perlintasan sebidang (liar) itu adalah pengamanannya, karena tidak memenuhi standar keselamatan. Sebenarnya kalau memenuhi standar keselamatan, ya itu tidak jadi masalah,” ungkap Edi. “Di negara-negara maju, di Eropa, Singapura, Malaysia, Amerika juga masih banyak perlintasan sebidang, tapi ini nggak jadi masalah karena mereka memenuhi standar keselamatan untuk perlintasan,” tandasnya.
Permasalahan semacam ini semakin pelik, lanjut Edi, manakala Undang-Undang menyebutkan bahwa perlintasan sebidang tanpa izin harus ditutup. “Yang menutup adalah Pemda, tapi mereka nggak mau tutup itu karena akan menimbulkan konflik baru, nantinya mereka akan diprotes oleh warganya sendiri, belum lagi perlintasan tersebut sudah ramai digunakan masyarakat,” papar Edi.
Baca Juga: Cegah Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, Indian Railways Adopsi Teknologi Satelit
Sebagai solusi, Edi telah membagi tugas dengan otoritas terkait guna melakukan penutupan terhadap perlintasan sebidang liar ini, namun karena tidak kunjung dijabani, “maka saya sendiri yang menutup, walaupun pada kenyataannya itu tidak mudah, namun semua ini kan demi kebaikan bersama.”
Ketika disinggung soal kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sebuah perlintasan sebidang, Edi mengatakan bahwa ada banyak standar yang harus dipenuhi, “di perlintasan sebidangitu harus dipasang rambu minimal 10. Coba sekarang kita lihat, bahkan ada perlintasan yang tidak memiliki rambu sama sekali.” Tutup Edi.