Saat ancang-ancang dari ujung runway, pesawat biasanya cukup dekat dengan perimeter bandara. Ini tentu berbahaya bagi apapun yang ada di belakangnya mengingat mesin jet pesawat secara teori dapat menghasilkan tekanan angin dengan kecepatan 190 km per jam hingga jarak 60 meter. Karenanya, banyak bandara berupaya mencegah dampak negatif jet blast dengan jet blast deflector.
Baca juga: Beken dengan ‘Atraksi’ Jet Blast, Bandara Princess Juliana Ternyata Pernah Makan Korban Jiwa
Sekilas, memang jet blast nampak tidak berbahaya jika hanya terkena hembusan angin mesin jet pesawat berkecepatan 190 km per jam.
Faktanya, jet blast pernah memakan korban jiwa. Pada 13 Juli 2017, seorang wisman asal Selandia Baru dinyatakan meninggal setelah dirinya terhempas jet blast yang dihasilkan oleh sebuah Boeing 737 yang hendak take off.
Wanita berusia 57 tahun tersebut di nyatakan sebagai korban jiwa pertama yang meninggal akibat jet blast yang mengakibatkan dirinya terpental dan kepalanya menghantam kerasnya aspal.
Jet blast sendiri adalah fenomena pergerakan udara secara cepat yang dihasilkan oleh dorongan tenaga mesin jet.
Umumnya jet blast terjadi pada proses sebelum pesawat lepas landas. Sebuah pesawat dalam ukuran besar (wide body), secara teori dapat menghasilkan tekanan angin dengan kecepatan 190 km per jam hingga jarak 60 meter. Bila ada material dalam radius 60 meter di belakang mesin jet, maka akan merasakan 40 persen dari daya maksimum mesin jet tersebut.
Dalam pedoman FAA, jet blast pesawat B777-300ER bahkan masih dianggap berbahaya untuk jarak sekitar 609 meter di belakang.
Dampak jet blast bisa berujung fatal. Selain melukai orang, kendaraan pun bisa mengalami kerusakan akibat hembusan dari angin jet tersebut.
Maka dari itu, di ujung runway tempat pesawat biasanya mulai start untuk lepas landas dilengkapi dengan jet blast deflector untuk mencegah dampak negatif hembusan kuat dari mesin jet. Di banyak bandara, jet blast deflector juga diletakkan di berbagai tempat di apron sampai taxiway.
Dilansir Airport Technology, jet blast deflector pertama kali muncul di dekade 50-an seiring datangnya era pesawat jet. Namun ketika itu, desainnya masih berbeda-beda dan belum ada pakem yang pasti.
Barulah di dekade 60-an, banyak bandara mulai menyeragamkan jet blast deflector. Tentunya setelah diatur oleh ICAO. Jet blast deflector ketika itu hadir dengan tinggi 1,8 – 2,4 meter dan lebar kurang lebih sama.
Baca juga: Dibalik Insiden Jet Blast Garuda Indonesia, Senantiasa Waspada Saat Berada di Apron!
Itu terus dievaluasi dan diperbarui pada dekade 90-an menjadi dua kali lipat lebih tinggi bahkan lebih tinggi lagi mengikuti pesawat yang memiliki mesin di bagian atas bodi dekat ekor, seperti McDonnell Douglas DC-10 dan MD-11.
Meski tingginya hampir pasti sama di seluruh bandara di dunia, namun bentuknya bisa berbeda. Ada jet blast deflector melengkung, jet blast deflector vertikal, jet blast deflector miring dan vertikal, dan lain sebagainya dengan total sekitar 45 model.