Jelang satu tahun grounded Boeing 737 MAX pada 14 Maret mendatang dan sehari setelah ‘anniversary’ insiden Ethiopian Airlines yang menewaskan 157 orang, 10 Maret 2019 lalu, Boeing mengumumkan telah menggelontorkan uang sebesar Rp268 triliun. Jumlah tersebut diperkirakan akan membengkak menjadi sebesar Rp330 triliun sampai pesawat tersebut benar-benar kembali diizinkan terbang.
Baca juga: Masalah Lagi! Boeing Temukan Serpihan di Tangki Bahan Bakar 737 MAX
Padahal, sebagaimana dilaporkan gwinnettdailypost.com, Selasa, (10/3), Januari lalu, di depan para investor, Boeing memperkirakan estimasi biaya yang akan dikeluarkan untuk pemulihan 737 MAX hanya sekitar Rp209 triliun. Dana tersebut setidaknya digunakan untuk dua hal. Pertama, membayar kompensasi kepada maskapai pelanggan sebesar Rp119 triliun. Kedua, untuk memproduksi kembali Boeing 737 MAX sebesar Rp90 triliun.
Seiring berjalannya waktu, Boeing kemudian memperkirakan butuh sekitar Rp57 triliun untuk memproduksi kembali 737 MAX begitu pesawat diizinkan kembali terbang. Di samping itu, Boeing juga telah menganggarkan dana sebesar Rp1,4 triliun untuk kompensasi bagi keluarga korban, meliputi Ethiopian Airline dan Lion Air, yang dari keduanya sampai merenggut 346 orang korban tewas. Dengan begitu total estimasi dana membengkak jauh di luar dugaan menjadi Rp268 triliun.
Bahkan, seorang analis Bank of America Merrill Lynch (BAML), Ronald Epstein, memperkirakan bahwa Rp268 triliun tersebut bisa saja akan terus melambung karena Boeing 737 MAX yang tak kunjung bisa kembali terbang setelah hampir setahun lamanya. Parahnya, analis yang juga mantan ilmuan riset terapan Boeing itu memprediksi, angka tersebut belum termasuk kompensasi yang mungkin bisa saja juga melambung.
“Perkiraan kami adalah sekitar $23 miliar (Rp330 triliun), tidak termasuk tanggung jawab atas kematian dan jika diperpanjang lebih lama, jumlah itu akan naik,” jelasnya. Atas prediksi tersebut dan juga prediksi dari para analis lainnya, selain dari analis internal, tak heran bila Boeing sangat berharap 737 MAX-nya dapat kembali terbang pertengahan tahun ini.
Pasalnya, bila tidak juga terbang sesegera mungkin, pesanan yang sudah dilakukan oleh maskapai global akan bisa dibatalkan secara sepihak atau ditunda tanpa adanya penalti apapun. Sebab, pada umumnya, tenggat waktu pengiriman pesawat mencapai waktu setahun.
Hal itu (pembatalan atau penundaan pembelian pesawat oleh maskapai) sangat dimungkinkan mengingat saat ini iklim penerbangan global tengah kacau akibat virus corona dan memaksa maskapai melakukan efisiensi besar-besar. Jangankan untuk menambah armada, pesawat yang ada saja banyak yang digrounded akibat sepinya penerbangan.
Lagi pula, bila pun Boeing 737 MAX dapat segera terbang, pesawat tersebut hampir telah kehilangan daya magisnya, yakni menyangkut efisiensi bahan bakar dan dimensi yang ditawarkan (tak terlalu kecil untuk terbang jarak jauh atau menengah namun juga tak terlalu besar untuk terbang jarak pendek atau menengah).
Baca juga: ‘Curi’ Pasar Boeing, Airbus Genjot Produksi A321XLR
Berkenaan dengan efisiensi, saat ini, harga minyak dunia tengah terus menerus turun. Akibatnya, maskapai tak terlalu mementingkan efisiensi. Kondisi yang mungkin akan berbeda dengan tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya, dimana harga minyak dunia tengah melonjak tajam. Kemudian, terkait dengan pangsa pasar medium long range atau pesawat yang bisa melakukan perjalanan lebih jauh dan menampung lebih banyak penumpang daripada narrowbody tetapi lebih sedikit daripada pesawat widebody, ceruk pasar tersebut sudah diambil dengan baik oleh A321neo XLR.
“Apa lagi yang bisa mereka lakukan jika bukan karena krisis MAX? Apa artinya itu dalam persaingan mereka dengan Airbus. A321neo XLR telah bekerja dengan sangat baik. Boeing belum mampu melakukan apa pun,” kata Ronald Epstein.