Bagi sebagian orang, bepergian dengan menggunakan pesawat mungkin jadi salah satu hal yang menyenangkan. Selain dapat mempersingkat waktu, pemandangan di luar pesawat dari ketinggian tertentu juga dapat menjadi obat penghilang rasa jenuh selama di udara. Belum lagi berbagai hiburan yang disediakan maskapai, lengkap sudah pengalaman menarik di udara.
Baca juga: Beginilah Kondisi Pramugari Thomas Cook yang Patah Kaki Akibat Turbulensi
Akan tetapi, semua euforia yang terjadi di udara seketika sirna saat cuaca buruk menghadang. Terlebih ketika awan cumulonimbus memenuhi sekeliling pesawat dalam jumlah yang banyak. Dijamin penerbangan akan menjadi horor. Bahkan pesawat berbadan besar seperti A380 dan Boeing 747 sekalipun tak kuasa menahan ‘serangan’ awan yang bisa menghasilkan badai petir dan cuaca dingin tersebut.
Berbagai insiden yang diakibatkan oleh turbulensi hebat sejak dahulu memang sering menghantui penumpang. Khususnya dalam penerbangan jarak jauh. Yang patut diketahui, seperti penerbangan Air New Zealand NZ5715 dari Christchurch, Selandia Baru menuju Invercargill, Januari tahun lalu. Kala itu, seisi pesawat hampir seluruhnya mengalami mual dan muntah-muntah. Saking hebatnya turbulensi yang terjadi dalam waktu yang tak sebentar.
Mencari jalan keluar atas ketakutan berlebih akan turbulensi hebat, Andras Galffy, seorang mahasiswa doktoral dari Technische Universität Wien asal Austria pun menemukan titik terang. Dalam penelitian yang masih menjadi bagian dari disertasinya, ia berhasil menemukan sebuah teknologi sensor yang mampu mengurangi resiko turbulensi hingga 80 persen.
Selain dapat mengurangi kenyamanan dan keamanan akibat turbulensi, teknologi yang sudah mendapat hak paten tersebut dinilai juga dapat menghemat bahan bakar. Pasalnya, ketika turbulensi terjadi, sistem perputaran angin pada sayap pesawat menjadi tak beraturan hingga mengurangi daya angkat pesawat. Akibatnya, pesawat harus mengeluarkan ‘tenaga’ ekstra untuk tetap mempertahankan jalur, ketinggian, serta gaya angkat.
Meskipun teknologi sensor tersebut baru diuji ke pesawat tak berawak, sebagaimana Andras Galffy yang memang ahli di bidang sistem autopilot dan pesawat tak berawak, namun, ia percaya bahwa temuannya ini dapat diaplikasikan ke pesawat berawak atau pesawat komersial. Tak hanya itu, ia juga mengklaim bahwa teknologi tersebut juga dapat diaplikasikan bukan hanya pada pesawat baru, namun juga pada pesawat-pesawat yang sudah ada.
Seperti dikutip dari laman innovationorigins.com, Kamis, (30/1), cara kerja dari teknologi sensor tersebut, secara umum sangat mudah. Mula-mula, sensor yang terpasang di depan pesawat akan mengukur dan mencatat tekanan udara serta menyajikannya kepada pilot. Ketika pesawat sudah memasuki wilayah dengan tekanan udara tinggi (turbulensi), pilot hanya perlu melakukan langkah-langkah sederhana dengan bantuan sistem kontrol aktuator cerdas yang dikembangkan Andras Galffy dan rekan-rekannya.
Sistem kontrol aktuator, yang dikembangkan oleh kelompok penelitian Advanced Mechatronic Systems dimana Andras Galffy menjadi salah satu di antaranya, tersebut kemudian akan memicu langkah kecil dan tepat secara otomatis untuk meredam turbulensi dan memaksimalkan gaya angkat pesawat sehingga berdampak pada berkurangnya getaran dan guncangan.
Baca juga: Apa yang Harus Anda Lakukan Jika Turbulensi Menyerang Saat Berada di Toilet
Meskipun demikian, Andras Galffy berdalih, masih ada cara yang lebih baik untuk mengurangi turbulensi dibanding teknologi sensor yang juga dapat digunakan untuk helikopter ini. Salah satunya, terletak pada sayap pesawat. Ia terinspirasi oleh konstruksi sayap burung yang ia sebut sebagai Morphing Wings.
Namun, cara tersebut tentu tak mudah, mengingat akan membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk mendesain ulang sayap pesawat, termasuk winglet dan wingtip, sistem navigasi, dan aerodinamika sayap. Tentu saja hal tersebut juga hanya berlaku pada pesawat baru, tak seperti teknologi sensor yang berhasil ditemukannya, yang dapat ditanamkan pada pesawat yang sudah ada.