Siapa tak kenal Bajaj? Bagi warga DKI Jakarta sosok Bajaj identik sebagai etalase transportasi yang telah melekat dari masa ke masa. Dan dari namanya kami yakin sebagian besar dari Anda sudah mahfum, bahwa kendaraan roda tiga yang kondang disebut BMW (Bajaj Merah Warnanya) ini berasal dari India. Sesuai perkembangan jaman dan tuntutan modernisasi, kini Bajaj di Jakarta sudah bertransformasi, seperti sebagian sudah tak lagi menggunakan mesin dua tak yang bising, dan di cat berwarna biru.
Baca juga: Bemo Tereliminasi, Bajaj Qute Jadi Solusi
Lantas bagaimana dengan Bajaj di negara asalnya? Apakah seperti di Indonesia? Pertanyaan tersebut kerap disampaikan kepada warga Indonesia yang pernah bertandang ke India. Dan KabarPenumpang.com pada 13 – 18 Februari lalu berkesempatan untuk melihat dan menjajal langsung Bajaj di Bangalore, kota yang dikenak sebagai basis perusahaan IT di kawasan Asia. Di India, Bajaj kondang disebut sebagai rickshaw atau “Tuk Tuk,” mirip dengan penyebutan kendaraan sejenis di Bangkok, Thailand.
Dibanding Bajaj Jakarta, Tuk Tuk punya dimensi sedikit lebih panjang, meski daya muatnya sama, yakni tiga orang di bangku bekalang. Dengan dimensi yang lebih panjang, menjadikan ruang gerak kaki penumpang lebih besar, dan pastinya lebih fleksibel dimuati barang bawaan. Tuk Tuk dirancang menggunakan atap dari bahan kanvas, tak beda dengan Bajaj Jakarta. Warna atap kanvas boleh dibilang serangam, yakni kuning, sementara dibagian bawah bodi di cat warna hijau, meski beberapa Tuk Tuk terlihat memakai cat kuning hitam.
Tuk Tuk di Bangalore sebagian besar masih mengadopsi mesin bensin, tapi yang jelas bukan mesin dua tak yang bising. Kecepatan pun dipatok maksimal di kisaran 56 km per jam. Untuk rute tempuh, tiada batasan, selain di jalan tol, pengemudi Tuk Tuk di Bangalore bahkan terlihat percaya diri membawa ngebut kendaraannya di atas fly over. Beradaptasi dengan panasnya cuaca di Bangalore, penumpang Tuk Tuk dapat menikmati hembusan angin kencang dari sisi samping, pasalnya ‘ruang terbuka’ di Bajaj India ini sangat lebar. Namun, karena terjangan debu yang keras, bekal masker saat naik Tuk Tuk dirasa sangat diperlukan di musim panas.
Lain dari itu semua, Tuk Tuk berlaku ibarat taksi, sebab sudah dilengkapi argometer digital. Tarif yang dipatok adalah 13 rupee per kilometer jarak tempuh. Jika menggunakan argometer ada tarif minimum untuk sekali naik, yaitu 25 rupee. Sebagai informasi 1 rupee setara 200 rupiah. Menyesuaikan dengan kondisi trafik dan demand penumpang, Tuk Tuk juga mengenakan tarif berbeda, seperti waktu malam hari (mulai pukul 22.00 – 05.00) dengan harga 1,5x lebih tinggi dari tarif argo reguler.
Baca juga: Bemo, Mencoba Eksis Ditengah Himpitan Zaman
Selain bisa di pesan langsung dari jalan, Tuk Tuk juga dapat dipesan lewat aplikasi dari smartphone. Meski begitu tidak ada keharusan bagi pengemudi untuk memakain argometer, seperti kami pernah memakai jasa Tuk Tuk dengan cara menawar untuk ke suatu tujuan di tengah kota. Bagi yang tak mengenal seluk beluk kota, nego tarif tidak disarankan. Sementara yang jadi tantangan terbesar adalah tak semua pengemudi TukTuk lancar berbahasa Inggris, dan belum tentu pengemudi Tuk Tuk paham seluk beluk kota dengan penduduk 11,5 juta jiwa (2016).
Kini tak kurang 10.000 unit Tuk Tuk beroperasi di Bangalore, moda transportasi ini memang menjadi solusi ditengah kepadatan lalu lintas yang cukup parah pada jam-jam sibuk. (Adjie Seno, India)