Pada hari ini, 12 tahun lalu, bertepatan 9 Maret 2009, pesawat Boeing-McDonnell Douglas (MD) 90 Lion Air tergelincir saat mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Tak ada kesimpulan spesifik dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terkait insiden ini. Namun, terdapat dugaan dari sejumlah pihak bahwa pilot termotivasi bonus besar bila berhasil mendarat tepat waktu sehingga memaksakan pendratan sekalipun kecepatan angin mencapai lebih dari 30 knot.
Baca juga: Hari Ini, 23 Tahun Lalu, Pesawat turunan dari Douglas DC-9, MD-95 Muncul Sebagai Boeing 717
Dalam laporan KNTK yang diunggah di knkt.dephub.go.id, disebutkan, MD-90 PK-LIL Lion Air dengan nomor penerbangan LNI-793, berangkat dari Bandara Makassar (Ujung Pandang) atau sekarang dikenal sebagai Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Sulawesi pada pukul 13.36 WIT menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Saat itu, pesawat tua yang pertama kali mengudara pada 1 Maret 1997 ini tengah mengangkut 166 penumpang dan enam kru, dua pilot dan empat pramugari. Dalam penerbangan ini, kapten pilot berusia 61 tahun dengan 25.000 jam terbang, hanya menjadi monitoring. Sedangkan kopilot 34 tahun dengan 5.000 jam terbang ditugaskan untuk handling pilot.
Sejak lepas landas sampai menjelang tiba di Bandara Soekarno-Hatta, penerbangan nyaris sempurna tanpa insiden apapun. Pun demikian dengan pesawat, tidak ada kendala apapun, sama seperti laporan inspeksi yang menjamin pesawat dalam keadaan baik dan laik terbang.
Namun, apa mau dikata, pesawat yang dibeli Lion Air pada 13 April 2005 akhirnya tergelincir saat mendarat pada pukul 15:43 WIB. Beruntung, 166 penumpang dilaporkan selamat dan seluruhnya berhasil dievakuasi melalui escape slide atau evacuation slide pesawat di sebelah kiri. Pesawat dengan nomor registrasi N905RA ini diduga tergelincir akibat cuaca buruk.
http://https://www.youtube.com/watch?v=PcW8cG3hfHo&t=29s
Tetapi, mari kita lihat lebih dalam. Sebelum proses pendaratan dengan instrumen landing system (ILS) approach dilakukan, kondisi di sekitar bandara sedang hujan lebat. Angin dari arah 200 derajat dilaporkan berhembus di kecepatan 15-30 knot dengan jarak pandang 1.500 meter. Dalam kondisi ini, pilot memutuskan untuk mengambil alih pesawat dan tetap melanjutkan pendaratan, sebuah keputusan yang tepat namun juga tidak tepat.
Tepat karena pilot mengambil kendali pesawat langsung dari tangan kopilot. Tidak tepat karena pendaratan tetap dilanjutkan di tengah kondisi itu. Sekalipun runway25L sudah terlihat jelang mendarat dari ketinggian sekitar 1.000 kaki, namun, itu tetap menjadi pendaratan yang amat berisiko. Pilot sebetulnya bisa saja menunda pendaratan atau mendarat di bandara lain untuk alasan keamanan.
Benar saja, ketika pesawat MD-90 satu-satunya yang masih beroperasi di Indonesia itu dalam posisi landing roll, tiba-tiba angin bertiup kencang sekitar 20 knot dari arah kiri pesawat. Pilot kemudian mengembalikan posisi pesawat ke centerline. Jelang touchdown, buntut pesawat kembali miring ke kanan akibat terpaan angin dari arah sebelah kiri.
Baca juga: 10 Kecelakaan di Bandara Sultan Hasanuddin, Lion Air Penyumbang Terbanyak
Pilot kemudian berusaha untuk menghandle itu dengan mengaktifkan thrust reverser. Namun, pesawat malah makin menukik akibat pilot hanya mengaktifkan thrust reverser sebelah kanan bukan keduanya dan tergelincir. Akibat kecelakaan itu, landing gear utama dan sayap patah. Ban nomor tiga meledak. Lambung pesawat juga tergores dan berlubang akibat meluncur di rumput samping runway.
Meski tak ada kesimpulan apapun terkait insiden ini, namun, sejumlah tudingan untuk pilot menyeruak. Pilot disebut terobsesi dengan bonus besar untuk mendaratkan pesawat tepat waktu di bandara yang sudah ditentukan. Itulah mengapa ia tetap memaksa melakukan pendaratan meski bisa dibilang amat berbahaya.