Pada hari ini, 25 tahun lalu, bertepatan dengan 15 Maret 1996, produsen pesawat legendaris asal Belanda, Fokker, akhirnya resmi bangkrut. Banyak masalah yang melatarbelakangi mengapa Fokker bangkrut. Salah satunya ialah perusahaan mendapat banyak pesanan pesawat dari seluruh dunia. Kenapa bisa mendapat banyak pesanan pesawat malah bikin bangkrut?
Baca juga: Anthony Fokker – Pria Kelahiran Blitar Yang Jadi Legenda di Dunia Dirgantara
Disarikan dari Flight Global dan Aerotime Aero, sebelum era duopoli Airbus dan Boeing berlangsung, Fokker sempat muncul menjadi salah satu produsen pesawat terbesar di dunia. Salah satu pesawat terlaris ialah Fokker F27 Friendship dengan penjualan 592 unit, sampai produksi pesawat ini akhirnya dihentikan pada tahun 1986.
Setelahnya, Fokker tak bisa membuat pesawat-pesawat lain yang juga laku keras di pasaran. Imbas dari itu, keuangan perusahaan pun mulai bergejolak.
Terlebih, sejak tahun 1967an, penjualan pesawat komersial Fokker mulai menurun, dimulai dari pesawat gagal F28 Fellowship dan VFW 614, pesawat produksi perusahaan patungan Fokker dengan Vereinigte Flugtechnische Werke (VFW), pabrikan yang berbasis di Jerman, pada tahun 1977.
Meskipun pada tahun 1979 dan 1980 Fokker masih bisa membukukan keuntungan, namun, penjualan terus menyusut dan perlu dilakukan suatu terobosan untuk mendongkrak penjualan.
Kebutuhan akan inovasi pun direspon Fokker dengan menggandeng McDonnell Douglas. Keduanya sepakat untuk mengembangkan MDF100, turunan dari F29, pada Mei 1981. Tetapi, proyek tersebut tidak pernah terwujud.
Sebagai gantinya, setahun berselang, Fokker pun mengembangkan sendiri dua pesawat baru, F100 dengan kapasitas 100 penumpang serta ditenagai mesin jet dan F50 turboprop. Keduanya berhasil mejalani penerbangan perdana masing-masing pada 1986 dan 1985.
Akan tetapi, biaya pengembangan kedua pesawat itu sangat besar dan harus disuntik pemerintah Belanda sebesar US$750 juta dengan melepas kepemilikan 32 persen saham.
Sudah begitu, estimasi awal biaya pengembangannya juga meleset hampir dua kali lipat, ditambah banyak pesanan pesawat dari maskapai diikuti dengan permintaan aneh sehingga membutuhkan pengembangan lebih lanjut dan tentu saja membutuhkan biaya lebih untuk riset.
Lebih parahnya lagi, persaingan pesawat komersial juga semakin ketat, dimana saat itu Boeing merilis versi klasik 737, Airbus mengumumkan program A320, dan McDonnell Douglas meluncurkan MD-80. Alhasil, F100 hanya laku sebanyak 283 unit. Angka tersebut tentu tak sejalan dengan biaya pengembangannya yang sangat besar.
Keadaan kemudian diperparah dengan adanya krisis minyak global pada tahun 1990an. Fokker sebetulnya sudah nyaris bangkrut pada tahun 1993 sebelum diakuisisi oleh Daimler-Benz, melalui divisi aerospace-nya, Daimler-Benz Aerospace (DASA) di tahun yang sama. Aksi korporasi itu mengantarkan DASA menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 51 persen dan sisanya milik pemerinah Belanda.
Baca juga: Deretan Maskapai Dunia yang Masih Operasikan Fokker 100, Ada Maskapai Papua
Setelah menggelontorkan US$2 miliar semata agar produksi terus berlanjut, DASA akhirnya menarik diri pada tahun 1996 dan mengantarkan Fokker ke jurang kematian. Sebelum resmi bangkrut pada 15 Maret 1996, Fokker sebetulnya mempunyai kans untuk terus bertahan seiring masuknya proposal akuisisi dari Samsung, Daewoo, Hyundai, Hanjin, Yakovlev, dan lain sebagainya.
Tetapi, semuanya menemui jalan buntu dan akhirnya Fokker bangkrut, sekalipun akhirnya dilanjutkan dengan perusahaan baru Fokker Aviation. Perusahaan itu hanya memasok suku cadang untuk pesawat yang sudah ada, maintenance, dan produksi teknologi untuk pesawat dan tidak memproduksi pesawat.