Siapa yang tak kenal Stasiun Jakarta Kota, stasiun kereta api yang ada di Kawasan Kota Tua Jakarta ini merupakan salah satu yang bertipe terminus yakni perjalanan awal ataupun akhir. Merupakan stasiun kereta api kelas besar tipe A yang memiliki ketinggian +4 meter di atas permukaan laut dan berada di bawah Daerah Operasional atau Daop 1 Jakarta.
Baca juga: Manggarai, dari Tempat Budak Hingga Menjadi Stasiun Terbesar di Jakarta
Stasiun Jakarta Kota sendiri sering disebut dengan Stasiun Beos atau Kota, padahal memiliki nama asli Stasiun Batavia-benedenstad. KabarPenumpang.com merangkum dari berbagai laman sumber, nama Beos sendiri ternyata berasal dari nama stasiun Batavia BOS Bataviasche Oosterspoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), yang berada pada lokasi yang sama sebelum dibongkar.
Ternyata Stasiun Jakarta Kota sendiri di masa lalu memiliki banyak nama sebutan yakni Batavia Zuid atau Stasun Batavia Selatan. Nama ini muncul pada akhir abad ke-19, di mana saat itu Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api.
Satunya adalah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij dan merupakan terminus untuk jalur Batavia-Buitenzorg.
Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan Tanjung Priok belum termasuk gemeente Batavia. Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1887, kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk direnovasi menjadi bangunan yang kini ada.
Selama stasiun ini dibangun, kereta-kereta api menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200 meter dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang sekarang. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931.
Stasiun ini dibangun oleh seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung 8 September 1882, yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels bersama dengan teman-temannya yakni Hein von Essen dan F. Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA).
Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju kecantikan.
Siluet stasiun Jakarta Kota dapat dirasakan melalui komposisi unit-unit massa dengan ketinggian dan bentuk atap berbeda. Unit-unit massa Stasiun Jakarta Kota terbagi menjadi unit massa kepala; unit massa sayap, gerbang masuk utama dan peron; unit massa menara (utama/depan, samping, dan gerbang samping). Konfigurasi massa bangunan linier secara keseluruhan membentuk huruf “T”.
Peron menggunakan rangka atap frame berbentuk butterfly shed (kupu-kupu) dengan penyangga kolom baja profil dipakai pada stasiun ini. Dinding bagian dalam hall diselesaikan dengan keramik berwarna coklat bertekstur kasar, sedangkan dinding luar bagian bawah seluruh bangunan ditutup dengan plesteran berbutir berwarna hitam.
Dinding yang sama pada concourse diselesaikan dengan ubin pola waffle berwarna kuning kehijauan. Lantai stasiun menggunakan ubin berwarna kuning dan abu-abu, dan untuk lantai peron dipakai ubin pola waffle berwarna kuning. Atap barrel-vault yang digunakan pada stasiun Jakarta Kota terlihat jelas pada hall utama.
Dinding bagian dalam hall diselesaikan dengan keramik berwarna coklat bertekstur kasar. Bukaan terbesar terdapat pada lunette yang berfungsi sebagai jendela. Lunette berbentuk busur semisirkular dengan unit bukaan vertikal sebanyak tujuh buah pada lunette utama.
Baca juga: Menapaki Sentuhan Belanda di 10 Stasiun Tua di Indonesia
Bukaan pintu pada Stasiun Jakarta Kota terbentuk akibat penggunaan kolom-kolom penyangga atap (kanopi) yang menghasilkan suatu unit massa sendiri. Pengolahan bidang di sekitar bukaan dengan penggunaan bata kerawang di atas pintu dan ubin waffle pada dinding bagian bawah serta daun pintu tambahan yang berfungsi sebagai pintu angin. Saat ini, Stasiun Jakarta Kota ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993.