Hari ini, tepat 76 tahun lalu, pesawat pengebom Amerika Serikat di Perang Dunia II, Boeing B-29 Superfortress “Enola Gay” dan “Bock’s Car” menjatuhkan bom atom pertama di dunia. Akibatnya, sekitar ratusan ribu jiwa dari kalangan sipil dan militer tewas mengenaskan.
Baca juga: Perang Dunia I Dorong Ilmuan Inggris Kembangkan Telepon Nirkabel di Kokpit
Peristiwa bermula pada pagi hari, Enola Gay yang dimudikan oleh Kolonel Paul W. Tibbets lepas landas dari Pulau Tinian di Samudra Pasifik. Pesawat pengebom khusus versi Silverplate itu memuat muatan bom atom pertama dan paling mematikan di dunia.
Bom atom dengan nama sandi “Little Boy” itu pun dijatuhkan tepat pukul 8.15 pagi dan melenyapkan Kota Hiroshima dalam sekejap, bersamaan dengan munculnya awan jamur yang terbentuk efek dari ledakan.
Menurut Departemen Energi AS, diperkirakan, 200 ribu jiwa melayang bila ditotal dengan korban tewas dan luka-luka yang baru meninggal beberapa tahun kemudian akibat luka bakar, keracunan radiasi, dan kanker.
Seolah tak cukup, pesawat pengebom Amerika Serikat kembali beraksi. Kali ini targetnya adalah Kota Nagasaki, yang berada di sebelah Selatan Jepang atau berjarak sekitar 420 km dari Kota Hiroshima.
Tepat pada tanggal 9 Agustus 1945, pesawat pengebom B-29 Bock’s Car sukses melepas bom atom atau bom nuklir kedua di Perang Dunia II dengan nama sandi “Fat Man” itu. Seketika, lebih dari 80 ribu nyawa melayang. Lima hari kemudian, Jepang menyerah dan Perang Dunia II berakhir.
Dikutip dari cincinnati.com, menjatuhkan bom atom merupakan momen penting dalam sejarah manusia. Betapa tidak, bom nuklir yang dibuat, bukan hanya mampu mengubah dinamika peperangan, melainkan juga membuka jalan pada zaman atom atau nuklir, dimana manusia mampu melenyapkan dirinya sendiri.
Selama beberapa tahun, momen menjatuhkan bom atom telah menjadi perdebatan keras di kalangan ahli. Beberapa berpendapat bahwa bom atom yang dijatuhkan justru menyelamatkan Jepang dari invasi militer yang dinilai bakal jauh lebih sadis dan merugikan, dengan jumlah korban jauh lebih besar.
Dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh pesawat pengebom Amerika Serikat, Boeing B-29 Superfortress “Enola Gay” dan “Bock’s Car”, perang dapat segera berakhir dan mempercepat penderitaan. Sama halnya dengan mengeksekusi tahanan dengan peluru tajam ketimbang menggunakan pedang tumpul.
Namun, pendapat itu tentu saja ditentang oleh kubu lain yang menyebut tindakan itu sebagai hal yang tak berperikemanusiaan.
Terlepas dari perdebatan itu, sang pilot, Kolonel Paul W. Tibbets, mengaku bangga atas perbuatannya. Ia malah merasa lebih senang dan bisa tidur nyenyak kapanpun setelah kejadian itu.
“Saya dapat meyakinkan Anda, saya tidak pernah kehilangan waktu untuk tidur karena keputusan saya (sebagai pilot pengebom Kota Hiroshima) tersebut,” kata Tibbets dalam wawancara pada tahun 1989 yang merupakan bagian dari proyek Atomic Heritage Foundation.
Ia melanjutkan, pertama kali bom dijatuhkan dan seketika ia tersadar bahwa korban bukan hanya datang dari kalangan militer, melainkan sipil, pilot yang bergabung di Korps Udara Angkatan Darat AS pada tahun 1937 itu mengaku tak ada urusan dengannya (para korban).
Justru sebaliknya, bilapun perbuatan itu dinilai tak manusiawi, ia menyebut para petinggi yang memerintahkannya-lah yang patut dipertanyakan. Sebab, yang ia tahu hanyalah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sekuat tenaga, bukan mempermasalahkan dampak dari tugas yang ia jalankan.
Baca juga: Perang Dunia 3 Nyaris Pecah! Begini Kesaksian Pilot Jet Tempur Uni Soviet Pada Tragedi KAL 007
Kini, Kolonel Paul W. Tibbets, telah meninggal pada tahun 2007 lalu, bersama dengan idealismenya. Sedangkan Enola Gay B-29 Superfortress dengan nomor seri B-2945-MO 44-86292 yang secara khusus dipilih oleh Kolonel Paul Tibbets saat dibuat di ladang milik Glenn L. Martin Company di Omaha, Nebraska, sejak tahun 2003 sampai sekarang, dipamerkan di Museum Steven F. Udvar-Hazy Center.
Agar lebih dikenang, pesawat dengan empat mesin 18-silinder bertenaga 8.800 tenaga kuda yang mampu membawa muatan bom seberat 20.000 pon dan bahan bakar untuk terbang lebih dari 3.500 mil ini dibuatkan lagu oleh Grup musik asal Britania Raya Orchestral Manoeuvres in the Dark berjudul sesuai nama pesawat, Enola Gay.