Hari ini, 43 tahun lalu yang bertepatan dengan 25 Januari 1981, dikenang sebagai momen kelam dalam sejarah jasa pelayaran di Indonesia. Perairan Masalembo menjadi saksi terbakarnya KM Tampomas II yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju ke Makassar. Akibat dari tragedi tersebut, 143 orang tewas termasuk sang nakhoda beserta 288 orang yang hilang tenggelam bersama kapal.
Baca juga: Tampomas II, Ingatkan Tragedi di Perairan Masalembo
Meski begitu ,753 orang lainnya berhasil selamat dari tragedi yang memilukan itu. Saat itu ada 1.055 penumpang yang terdaftar dalam manifes, 82 awak kapal, 191 mobil dan 200 motor yang diangkut ole KM Tampomas II. Jumlah ini belum termasuk dengan penumpang gelap yang ikut dalam pelayaran. Estimasi total penumpang KM Tampomas II adalah 1.442 orang, termasuk penumpang gelap yang ditaksir berjumlah 300 orang.
Dari lintasan kejadian, pada waktu perjalanan hingga 24 Januari malam, tidak terjadi apa pun meski kondisi salah satu mesin kapal rusak. Namun, gelombang pada bulan Januari rupanya cukup besar, yakni 1-10 meter bila dibandingkan bulan lainnya dengan kecepatan 15 knots dan sangat wajar terjadi.
Nahas, pada 25 Januari malam pukul 20.00 WITA, kondisi laut tengah terjadi badai yang lebat dan mengakibatkan masalah pada mesin yang berujung pada kebocoran bahan bakar serta puntung rokok dari ventilasi yang memicu percikan api.
Buntut dari tragedi Tampomas II adalah masalah pada manifes kapal, khususnya terkait adanya penumpang gelap. Pada zaman itu, manifes penumpang tidak menjadi prioritas dan cenderung diabaikan oleh penyedia jasa, termasuk regulator. Padahal manifes sejatinya adalah hak pengguna jasa, persisnya adalah hak pengguna jasa atas identitas dirinya agar terdaftar dalam suatu moda transportasi.
Berlaku di semua moda, manifes penting untuk untuk urusan keselamatan, proses identifikasi korban akan lebih mudah dan cepat dengan adanya manifes penumpang. Dan yang tak kalah penting, data manifes menjadi pegangan bagi pihak asuransi untuk bisa melakukan pembayaran santunan kepada keluar korban.
Mengingat betapa pentingnya manifes, saat ini Pemerintah lewat Kementerian Perhubungan sudah aware dengan persoalan manifes. Bila ditelaah, sudah ada Peraturan Menteri Nomor 25/26 Tahun 2016 yang mengatur mengenai jumlah penumpang dan kendaraan angkutan penyeberangan.
Yang jadi kewajiban operator atau pengelola pelabuhan yakni menciptakan formulir jumlah manifes bersama format yang sudah ditentukan. Lebih detail lagi, operator kapal kemudian menciptakan rekapitulasi daftar penumpang berdasarkan sobekan kupon dari penumpang pejalan kaki dan formulir penumpang yang diisi oleh pengemudi kendaraan baik pribadi ataupun angkutan umum.
Baca juga: Masalah Manifes, Bukti Carut Marutnya Layanan Pelayaran di Tanah Air
Setelah penumpang naik ke kapal, operator kapal wajib menghitung kembali jumlah penumpang untuk menyesuaikannya bersama jumlah penumpang yang ada. Seterusnya, pembuatan rekapitulasi jumlah manifes jadi tanggung jawab nahkoda kapal. Rekapitulasi tersebut pada akhirnya merupakan dasar untuk mengajukana Surat Persetujuan Berlayar pada Syahbandar.