Pada hari ini, 39 tahun yang lalu, bertepatan dengan 20 Maret 1982, pesawat Fokker F-28 Fellowship 1000 Garuda Indonesia tergelincir dan terbakar di lapangan udara Branti (sekarang menjadi Bandara Radin Inten II), Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Akibat kecelakaan itu, sedikitnya 27 orang, terdiri dari empat kru dan 23 penumpang, tewas alias seluruh penumpang dan kru.
Baca juga: Hari Ini, Kecelakaan Garuda Indonesia Flight 200 Akhirnya Antarkan Pilot ‘Arogan’ Pertama ke Penjara
Kendati memakan banyak korban jiwa, nyatanya, sedikit sekali informasi detail yang mengungkapkan kronologi kejadian.
Pesawat Fokker Garuda F-28 Fellowship berjuluk “Cimanuk” itu diketahui lepas landas dari Bandara Kemayoran, Jakarta, menuju lapangan udara Branti, Lampung. Beberapa sumber menyatakan bahwa pesawat PK-GVK berusia delapan tahun itu dalam kondisi baik, demikian juga saat dalam perjalanan ke bandara tujuan.
Akan tetapi, masalah mulai menghampiri pesawat yang memuat empat kru dan 23 penumpang itu tatkala mendekati bandara, dimana hujan deras mengguyur. Tak ada informasi detail percakapan pilot dengan ATC bandara sampai akhirnya memutuskan tetap mendarat.
Padahal, ketika itu, bisa dibilang seluruh bandara di Indonesia, termasuk lapangan udara Branti, belum dilengkapi dengan Standing Water Detector (SWD) atau alat pendeteksi tingginya genangan air yang ada di landas pacu bandara.
Menurut ICAO, genangan air tertinggi adalah 4 milimeter dan tidak boleh lebih dari 25 persen di area runway yang tergenang. Lebih dari itu, keselamatan penerbangan akan sangat dipertaruhkan.
http://https://www.youtube.com/watch?v=Afe5HOnGjXk&t=186s
Jangankan saat proses pendaratan di warnai hujan deras, dalam kondisi hujan sudah mereda dan menyisakan genangan di runway saja sudah berbahaya, apalagi hujan deras masih mengguyur dan belum didukung teknologi SWD. Tentu saja insiden hydroplaning, sebuah kondisi pengereman yang tidak sempurna akibat adanya pemantulan pesawat dari permukaan landasan, dan memungkinkan terjadinya insiden, seperti overrun atau tergelincir, menghantui pesawat.
Singkatnya, pesawat memutuskan untuk tetap mendarat dalam kondisi cuaca yang digambarkan hujan lebat sekali dan benar saja insiden pun terjadi. Pesawat tergelincir dan merangsek masuk area persawahan, meluncur sejauh 700 meter dari runway dan terbakar. Seluruh penumpang dan kru dengan total 27 orang tewas seketika.
Kecelakaan tersebut tentu membuka luka lama publik akan kecelakaan serupa yang terjadi dua kali beruntun dalam tempo yang tak terlalu lama, melibatkan pesawat dan maskapai yang sama.
Baca juga: Selain Mandala Airlines dan Hercules TNI AU, Inilah Daftar Kecelakaan yang Terkait Bandara Polonia Medan
Pada 24 September 1975, pesawat Fokker F28-1000 dengan call-sign PK-GPC “Mahakam” Garuda Indonesia Airways jatuh dan terbakar di Palembang juga akibat cuaca buruk. Sebanyak 23 dari 61 penumpang tewas.
Seolah mengulang kecelakaan tragis, 11 Juli 1979 pesawat Fokker Garuda F-28 “Mamberamo” dari Palembang menuju Medan menabrak gunung Meketer pada ketinggian sekitar 1.700 meter juga akibat cuaca buruk. Kejadian tersebut menewaskan empat awak pesawat dan 57 penumpang.